Tampilkan postingan dengan label L i b e r a l. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label L i b e r a l. Tampilkan semua postingan

Islam Liberal, Islam Rasional, dan Cuci Otak Zionis

Sabtu, 18 Desember 2010

Dipublikasi pada Sunday, 04 June 2006 oleh informatika

Beberapa tahun lalu, pakar tafsir Prof Dr HM. Quraisy Shihab pernah memprediksi, bahwa dakwah pada abad 21, akan memunculkan satu fenomena baru dalam kajian-kajian keislaman. Di mana semangat untuk mengkaji Islam itu tinggi, tetapi mereka belajar sendiri tanpa guru.

Prediksi Quraish ternyata benar, kini muncul kajian-kajian Islam tanpa guru dimana-mana. Islam Liberal, Islam Rasional dan sejenisnya, adalah kajian yang meletakkan skeptisisme sebagai paradigma berpikirnya, bukan wahyu. Banyak Intelektual Islam yang menggunakan paradigma itu dengan alasan keilmuan, menurut direktur pengkajian (LP3I) dan penulis buku `Isu Zionisme Internasional`, Drs. H. Mohammad Baharun, SH.MA., mereka memang mempunyai potensi merusak agama melalui kajian-kajian seperti itu.
Menurut Baharun, kajian keislaman seperti itu telah dimanfaatkan gerakan zionis internasional, yang salah satu modus gerakannya dengan cara “cuci otak”.

Jika tak ada yang menandinginya lewat pemikiran Islam yang `lurus`, maka jaringan ini akan berkembang pesat, karena disokong propaganda media yang dikuasai Zionisme internasional. Kepada Ali Hafidz dan Adi Ardiansyah dari Madinah, pengursus Akidah Annajah dan pengajar UNISMA Malang yang juga mantan wartawan TEMPO era 80-an ini, mengungkapkan bahaya pemikiran itu dan seluk-beluknya. Berikut petikan wawancaranya :

Saat ini penyesatan Akidah (Gazwul Fikri) begitu menggejala pada umat Islam. Kalau gejala itu dihembuskan gerakan zionisme Internasional, bagaimana meresponnya mengingat wujudnya begitu halus ?
Kita tak bisa memerangi jaringan Zionisme internasional dengan alat-alat tradisional seperti pisau, sementara mereka sudah memakai bedil. Nah, bedil yang dimaksudkan di sini adalah metodologi. Umat Islam harus melawan dengan memakai metodologi yang selama ini mereka pakai. Kita dekati mereka, kita pakai cara mereka, identifikasi mereka.

Selama ini kita terus memendam kebencian, tanpa tahu harus bagaimana berbuat, sementara Yahudi ini posisinya ada di atas. Hebatnya, gerakan zionis internasional itu sukar dibedakan antara Yahudi dengan zionis. Kalau Yahudi itu tidak berpendidikan, sementara zionis itu sudah berpendidikan, tapi mayoritas Yahudi yang pintar otomatis zionis. Orang-orang Yahudi yang tidak ikut zionis adalah orang-orang tradisional kelompok bodoh yang tua-tua. Yahudi yang muda-muda dan terpelajar, pedagang, dan yang berkepentingan dengan kehidupan politik ini pasti dia masuk dalam aktivis zionis.

Seperti apa jelasnya gerakan zionisme itu ?

Zionis tidak merekrut orang. Orang banyak keliru dikira zionis internasional itu merekrut orang. Mereka tidak merekrut orang, tetapi membentuk pikiran. Maka menurut para penulis Islam modern seperti Prof. Dr. Wael Hallaq, saat ini umat Islam sedang pada tahapan perang, Gazwul Fikri (perang wacana, pemikiran). Jadi yang sedang terjadi adalah pertarungan ideologi bersama pertarungan pemikiran. Dimana peluru mereka, yang dibilang Hallaq tadi adalah peluru pemikiran.

Di Indonesia pengaruhnya sejauh mana ?

Di Indonesia ini sama saja. Selama jaringan zionis seperti Rotary Club, Lion Club dan sejenisnya masih beroperasi di Indonesia. Kita tak akan bebas dari cengkeramannya. Sebetulnya mereka bisa menyusup dan merusak pikiran. Yang mereka jadikan target pertama adalah Islam. Karena Islam dianggap sebagai ancaman mereka. Makanya teori Huntington tidak berlebihan, bahwa Islam adalah musuh peradaban barat. Di Indonesia, sebetulnya gerakan zionis sudah bisa menyusun, merusak dan berperang dalam pemikiran dan ideologi.

Bisa dijelaskan lebih rinci teori Wael Hallaz soal perang pemikiran itu ?

Wael Hallaq adalah seorang Muslim yang belajar di Arab, kemudian dia mengkritisi penafsiran-penafsiran barat. Teori Hallaq adalah bahwa umat Islam harus belajar menembakkan peluru dari Barat untuk kita hantamkan ke Barat.

Dimana kekeliruan umat selama ini terhadap Barat yang zionis ?

Kekeliruan orang-orang Islam sekarang ini adalah selalu bersikap apriori, tidak mau mempelajari strategi yang mereka terapkan. Umat Islam tidak mau berdiri sendiri dan hanya bisa memendam kebencian. Selama ini di kalangan umat Islam, terjadi mobilisasi opini sedemikian rupa, sehingga banyak opini yang mereka kira efektif dan baik untuk melawan zionis, padahal kenyataannya tidak. Padahal, masalah Yahudi dan zionis jatuh ke laut dan selesai. Sekarang bukan begitu. Masalah Yahudi ini sudah sejak tahun 1779.

Berarti jauh sebelum Theodore Hezl mencanangkannya, bisa anda jelaskan kilas baliknya ?

Jauh sebelum muncul gerakan zionisme, sudah sejak dini muncul ajaran illuminisme. Ajaran illuminisme adalah salah satu ajaran orang-orang Yahudi, yang salah satunya kembali ke negeri leluhur. Rencana besarnya menguasai dunia ini mendapat dukungan di bawah telapak kaki dan dukungan zionisme internasional. Jadi kembali ke ajaran plastinus, yang mengajarkan suatu tujuan kecil, bukan rencana besar. Rencana besarnya justru itu sekarang sudah tercapai. Karena itu ungkapan-ungkapan seperti “Israel itu adalah seperti Amerika kecil, dan Amerika itu Israel besar” dan ungkapan “Amerika itu Israel besar dan Israel itu Amerika kecil” selaras dengan rencana zionisme internasional yang menjadikan dunia ini sebagai panggung sandiwara. Di mana yang main dan sutradaranya adalah orang-orang Yahudi. Jadi, gerakan zionisme internasional sudah ada sejak tahun 1779, hampir bersamaan dengan Amerika merdeka dan juga revolusi Perancis.

Orang-orang Yahudi pernah dibantai oleh rezim Nazi di bawah Hitler. Mengapa mereka ditindas ?

Sebetulnya, kalau orang Hitler membunuh orang Yahudi, bukan karena salah atau bukan karena kebencian etnik. Tapi mereka memang sudah tahu rahasia Yahudi yang memang ingin menguasai dunia. Opini sejarah itu selama ini sudah diputar balik oleh zionis sendiri. Orang-orang Yahudi terus mempropagandakan bahwa tentara Nazi memiliki kebencian terhadap etnik Yahudi.

Yang terjadi fakta sejarahnya seperti apa ?

Faktanya tidak sesederhana yang dipropogandakan orang-orang Yahudi. Karena sebenarnya, Hitler bukanlah seorang zionis. Hitler sendiri di satu sisi ingin supremasi bangsanya (Aria) yang paling unggul. Dan sikap ini berbenturan dengan kepentingan Yahudi yang juga ingin menguasai dunia dan akan menjadi bangsa yang paling unggul di dunia.

Mungkin ada keunggulan secara geneologi orang-orang Yahudi dibanding non Yahudi ?

Ya, memang mereka mempunyai keunggulan. Dan Al-Quran sendiri mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dilebihkan dari bangsa-bangsa lain. tapi karena mereka tidak taat dengan hukum Allah, maka mereka dikutuk. Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang Yahudi itu pada mulanya memang dimuliakan Allah. Namun, karena kesombongannya maka nasibnya dihinakan oleh Allah SWT.

Anti zionisme saat ini hanya menjadi wacana pinggiran, dibanding wacana radikalisme Islam dihembuskan Barat? Apakah ini faktor propaganda media semata, atau ada faktor lain?

Sebetulnya banyak faktor, dalam pembentukan opini. Kita semua tahu kantor-kantor berita dikuasai zionisme internasional. Otomatis segala pemberitaan tentang dunia Islam dikuasai jaringan media zionis. Dan media-media kita mengikutinya. Yang kedua adalah sistem brain washing, cuci otak. Hal ini terjadi pada orang Islam, dimana atas liberalisme pemikiran, yang dilakukan oleh pakar-pakar sekuler yang dididik zionisme, itu meragukan agama dengan pendekatan skeptisisme.

Dimana titik genting pendekatan skeptisisme itu?

Cara berpikir itu sangat berbahaya jika menyangkut hal-hal mendasar dari agama Islam. Studi keilmuan yang ditawarkan pakar-pakar sekuler yang dibina orang-orang zionis adalah pertama dalam mengkaji ilmu harus ragu dulu. Bila pendekatan itu menyangkut hal lain yang tidak menyangkut keilmuan Islam yang bersumber wahyu, mungkin tidak ada masalah. Tapi kalau itu dipukul rata terhadap ilmu-ilmu keislaman yang pokok—Tauhid—itu berbahaya. Mereka selalu memakai metode yang mereka kembangkan; harus meragukan dulu segala sesuatu. Ini kan sebenarnya merusak akidah dan termasuk yang paling pokok dalam Islam.

Anda melihat banyak pemikir Islam Indonesia berpikir seperti itu?

Baik dirasakan atau tidak, banyak intelektual kita yang sudah mulai menggunakan paradigma seperti itu dengan alasan keilmuan. Keilmuan yang mana? Kalau keilmuan yang bebas nilai seperti ilmu alam, okelah kita terima. Tapi keilmuan yang bersumber pada wahyu, ini menyangkut masalah keimanan. Masalah keimanan itu secara komplek kita yakini dengan optimal, maksimal dan penuh bahwa yang bersumber dari wahyu adalah pasti benar, tanpa harus ragu kemudian.

Nah, ini bagaimana, keimanan disuruh harus menguji. Menguji dengan takaran apa? Ya, dengan standar apa? Mereka memang punya jalan untuk merusak agama dengan melalui kajian-kajian seperti itu.

Bagaimana dengan Islam Liberal. Pendekatan macam apa itu?

Mengenai munculnya kajian-kajian Islam Liberal, saya teringat dengan apa yang diprediksikan oleh Prof. Dr. Quraisy Shihab beberapa tahun yang lalu, bahwa dakwah pada abad 21, akan muncul satu fenomena baru dalam kajian-kajian keislaman.

Dimana semangat mengkaji Islam sangat tinggi, tetapi mereka dengan belajar sendiri tanpa guru. Jadi, kalau saya boleh menyebutkan, munculnya kajian-kajian Islam Liberal di berbagai tempat itu sebetulnya kajian-kajian tanpa guru. Mereka mengangkat tema–tema yang boleh jadi tema-tema itu dinilainya aktual dan menarik, tetapi sebetulnya disimpulkan sendiri, tanpa bimbingan guru. Sehingga yang terjadi kesimpulan-kesimpulannya bertentangan terhadap agama.

Sebetulnya sejauh mana aktual tema-tema yang mereka angkat?

Tema-tema yang mereka jadikan bahan kajian sebetulnya tema lama. Mereka hanya mengkaji ulang para Ulama terdahulu. Tetapi paradigma-paradigma Ulama terdahulu tidak diambil, dan diselesaikan dengan akal pikiran mereka. Inilah yang mereka unggulkan dan dianggap rasional. Mereka menggunakan metode rasionalisme. Kita bertanya, rasio siapa yang dijadikan standar kebenaran itu?

Mungkin rasionalisme Islam?

Seperti apa rasionalisme Islam. Sudah mafhum bahwa rasionalisme itu bias Barat. Padahal ungkapan-ungkapan yang sering populer di Barat sendiri adalah ten men tem mind. Jadi sepuluh orang sepulJadi sepuluh orang sepuluh pendapat. Nah, pendapat siapa yang kita jadikan standar kebenaran dari suatu pemikiran itu? Apalagi pemikiran-pemikiran yang kita perbincangkan itu adalah pemikiran-pemikiran yang bersumber dari wahyu. Bahkan saat ini orang-orang barat sendiri tidak meyakini bahwa rasio itu segala-galanya. Jadi pendapat siapa yang kita jadikan standar kebenaran itu?

Apakah mereka sadar akan kekeliruan-kekeliruannya itu?

Sadar atau tidak, mereka itu lemah dan landasan berpikirnya skeptisisme dan bukan landasan metodologi agama. Mengapa Islam dibelenggu. Ini juga kelemahan para cendikiawan sendiri yang selama rentang waktu yang cukup lama, selalu meremehkan masalah metodologi. Dan kita yakin apa yang mereka kaji itu keliru, karena tidak bersumber dari ajaran agama yang benar.

Tapi kenapa kajian seperti Islam Liberal itu banyak juga 'peminatnya'?

Ini sesuai dengan karakter manusia yang suka hal-hal yang gampangan, tidak mau terbelenggu. Dan kajian itu memang mengusung 'kegampangan' tertentu dalam agama. Dan orang banyak yang tertarik karena inginnya bebas, gampang, tidak banyak ikatan ritual, kaidah dalam menjalankan agama. Apalagi mereka yang hatinya gandrung ke Barat. Memang paradigma lama itu biasanya tidak sepopuler paradigma baru yang muncul kemudian dari barat.

Ke depan kira-kira seperti apa perkembangan kajian semacam Islam Liberal itu?

Di kota, jika tak ada tandingannya akan makin berkembang, dan Yahudi akan memboncengnya. Nah, di situlah pintarnya Yahudi. Bukan Yahudi yang merekrut orang, tapi memanfaatkan orang-orang Islam juga.

Bagaimana posisi lembaga-lembaga keilmuan Islam, seperti Pesantren dan IAIN dalam merespon gejala seperti itu?

Pesantren dan Perguruan tinggi Islam seperti IAIN yang selama ini kita harapkan bisa mengembangkan metodologi ilmu-ilmu keislaman dengan baik, justru banyak meninggalkan metodologi itu. Sehingga muncul kajian-kajian yang mengunggulkan secara berlebihan metodologi Barat. Dan akhirnya muncul kajian-kajian seperti itu.

Perusakan pemikiran itu apakah hanya terjadi di kalangan Islam?

Sebetulnya yang dituju bukan hanya Islam, tapi juga agama-agama lain, termasuk Kristen. Hanya saja sebagian orang Kristen ada yang menyadari dan ada juga yang tidak. Pernah ada tokoh Kristen, saya lupa namanya, mengatakan bahwa sebenarnya zionisme itu musuh bersama agama-agama termasuk agama Islam dan Kristen. Tapi memang sebagian besar tidak menyadari itu.

Kenapa?

Karena sudah terlalu banyak tokoh-tokoh Kristen yang menjadi agen-agen zionisme Internasional. Tanpa harus menyebut nama, di Indonesia pun banyak tokoh Kristen yang merangkap agen zionis internasional.

Bukankah antara Kristen dan Yahudi punya kesamaan misi?

Ya. Bisa jadi seperti itu, karena mereka saling mempengaruhi dan sulit membedakannya. Karena orang-orang Yahudi itu banyak yang menyusup di kalangan orang-orang Kristen. Saya pernah membaca salah satu selebaran Kristen Radikal, yang menyatakan bahwa zionisme itu anti Kristus.

Jadi tidak hanya Islam yang dirusak?

Ya. Tidak hanya Islam, Kristen juga sama. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. (el-Qe/el-Kae)
Read More...

Kesesatan Islam Liberal

Oleh: Sudarto Umar Faruq

I. ISU TERKINI.


Ulil Abshor Abdalla dalam artikelnya diharian Kompas yang bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemkiran Islam”, kemudian diberitakan ulang oleh seorang wartawan Suara Merdeka A. Adib, Rabu,18 Desember 2002 yang isinya mengangkat tema–tema klasik yang dulu sudah di gembor–gemborkan oleh pendahulu–pendahunya, dan kini kami rangkum dalam bab dibawah ini.


II. RECEK ILMIYAH


1. Kebekuan Pemikiran Islam
Islam sangat menjunjung hak berpendapat, sampai mengharamkan usaha-usaha penghilangan fungsi akal dengan cara mengkonsumsi narkoba, miras, dan lain-lain. Allah berfirman :

يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Tapi kebebasan berfikir dibatasi pada doktrin- doktrin yang ijtihadi tidak sampai mengambah kepada doktrin yang qoth’i (fundamental) sebab disitulah akal manusia diuji mengakui kehamba-annya atau tidak. Dan lucunya, dia malah mengajak kelompok-kelompok yang kontra dengannya untuk berdialog, dengan menembus batas-batas ruang diskusi yang mustahil dilakukan. lalu apakah dengan mencari kelemahan ayat-ayat qishos, jihad, rajam, kekafiran yahudi nasrani, dia mengajak berdialog? inikan sama saja memper-masalahkan, keotentikan Al-qur`an, padahal qur’an diturunkan untuk diimani dan diamalkan bukan untuk diragukan dan diingkari dengan menggelar forum diskusi. Rosulullah SAW bersabda :

المراء في القرآن كفر ( رواه أبو داود )

2. Kesederajatan Universal
Hak beragama, hidup, punya keturunan, kepemilikan barang, berbicara, serta ekspresi budaya yang kesemuanya merupakan hak asasi manusia, Islam melindunginya dengan pranata-pranata samawi yang suci. Tapi tidak harus diseragamkan seperti ma’na adil yang kenal manusia, manusia sengaja diciptakan dengan beraneka kekurangan dan kelebihan untuk saling melengkapi. Doktrin-doktrin yang melarang kawin beda agama, kedudukan non-muslim yang dibedakan, kepemimpinan laki-laki terhadap wanita dituduh tidak manusiawi tadak menghormati emansipasi wanita, diskriminatif. Tapi coba kita pikir apakah rumus adil produk manusia ittu sama dengan rumus Allah ? Tentu jawabannya tidak, sebab alam semesta ini sepenuhnya milik Allah bukan seperti manusia yang hak-haknya dibatasi, jadi apapun yang dilakukan Allah itu adalah keadilan hakiki. Allah berfirman :

لله ما في السموات وما في الأرض
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”

Logikanya, Allah berhak memberikan kelebihan-kelebihan spesifik terhadap hamba-hamba-Nya yang taat dan memberi sanksi terhadap mereka yang berpaling dari tuntunan-Nya.

Jadi kalau wanita dipimpin pria itu adil, karena kapasitas fisik serta rohani lebih memungkinkan dibanding wanita, fisik wanita jelas, rohaninya kurang karena setiap bulan ada gangguan dalam ibadahnya. Firman Allah :

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم (النساء: 34)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Perkawinan beda agama, dihawatirkan aqidah sipelaku yang muslim terkontaminasi atau justru hanyut dalam agama lain yang menyengsarakan mereka ke neraka. Allah berfirman :

ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم، ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم، أولئك يدعون إلى النار (البقرة: 221)
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguh-nya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil palajaran.”

Perlakuan non-muslim yang dibedakan, ini merupakan sinyal abstrak alam rahim untuk menginngatkan persaksian mereka terhadap Tuhannya. Didalam Al qur’an Allah menyeritakan persaksian mereka.

وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم، قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا عن هذا غافلون. (الأعراف: 172)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman); “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esa-an Tuhan).”

Disitu manusia ketika akan diberi ruh oleh Allah disuruh bersaksi bahwa Allah-lah Tuhannya, tapi setelah didunia mereka lupa (kafir) terhadap janjinya. Jadi kalau dalam pemerintahan Islam mereka diwajibkan membayar pajak (jizyah) ittu adalah keadilan Allah. Firman Allah :

قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون دين الحق من الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون. (التوبة: 29)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah). (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

3. Sekulerisme
Islam adalah Quran dan Nabi Muhammad, dalam mengemban tugas suci ini beliau selalu berpijak pada ajaran-ajaran Al-Quran, tak terkecuali sebagai seorang pemimpin negara Madinah. Memang dalam Al-Quran tidak disebut secara jelas model pemerintahan Islam, tapi kita diperintahkan untuk mengikuti Rosulullah dalam segala hal, sampai pada ajaran-ajaran yang berbau ekspresi budaya, seperti jubah, jenggot, jilbab. Allah berfirman :

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم والله غفور رحيم. (آل عمران: 31)
“Katakanlah! “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah maha Pengampun lagi maha Penyayang.”

Begitu pula masalah model pemerintahan, Muhammad disamping sebagai seorang Nabi juga sebagai komandan perang, ini dapat kita lihat di surat Al Anfal ayat 65 :

يا أيها النبي حرض المؤمنين على القتال. الآية
“Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang…”

Juga sebagai pengendali perekonomian negara, dalam surat al-Hasyr; 07 disebutkan :

...كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم...الآية
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..”

juga sebagai penjaga stabilitas keamanan, ini dapat kita lihat dalam Al-An’am: 82:

الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون.
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dan Rasulullah adalah pemimpin orang-orang yang beriman.

4. Semua Agama Itu Sama
Islam menjamin hak beragama, (agama samawi yang memiliki kitab suci) seperti yang tersebut dalam Surat Al-Baqoroh 256: Laa Ikraaha fiddin, tapi toleran seperti itu sebatas pengakuan keberagama-an orang lain, tidak sampai pada kenyakinan bahwa semua pengikut agama sama-sama menuju kebenaran. Kalau demikian, lalu apa gunanya seorang memilih dan menyakini diantara sekian agama?. Kalau teori ini diteruskan, maka bisa dipratekkan sehari Islam, lain hari budha misalnya, dan ini tidak masalah karena semuanya benar, padahal itu merupakan toleransi intern yang mustahil terjadi, sebab menimbulkan kemurtatan.

Jadi fanatisme agama adalah naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri, sebab ketika kita sudah masuk suatu agama, pasti yakin inilah yang benar, yang lain batil. Seperti Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhannya, pertama, dia menganggap bintang sebagai Tuhannya, lalu bulan, dan matahari, Karena benda-benda inilah yang menerangi alam semesta, namun setelah semuanya tenggelam, beliau diberi petunjuk Allah bahwa Tuhannya adalah Pencipta Langit dan Bumi, bukan yang disembah kaumnya. Allah mengabadikannya dalam surat Al-An’am ayat 74-82. Pengakuan Nabi Ibrahim pada ayat 79 :

إني وجهت وجهي للذي فطر السموات والأرض حنيفا وما أنا من المشركين.
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku pada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.”

Jadi kebenaran itu satu, karena Tuhan itu hanya satu, mereka yang berbuat syirik terhadap Allah itulah yang sesat, sehingga logis sekali kalau dalam Alqur’an ada ayat-ayat seperti:

إن الدين عند الله الإسلام. الآية
“Sesungguhnya agama (yang diridloi) di sisi Allah hanyalah Islam.”

ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين. (آل عمران: 85)
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Karena inilah satu-satunya agama yang meng-Esa-kan Allah, sebab rasio tidak menerima kalau Tuhan itu lebih dari satu.

5. Didunia Yang Berlaku Hukum Manusia Bukan Hukum Tuhan

Ini salah satu contoh pemikirannya yang matrealistis, yang hanya menganggap kehidupan adalah didunia ini saja, sebab Allah dianggap tidak mempunyai wewenang mengurusi dunia, semua diserahkan secara otonom kepada manusia. Jadi, hukum yang dipakai adalah murni produk akal manusia, padahal manusia hanya bisa menganalisis kemaslahatan-kemaslahatan-nya didunia saja, lantas bagaimana setelah tidak didunia?, tidak ada yang tahu, padahal kemaslahatan-kemaslahatan hakiki itu diakhirat nanti dan yang tahu hanya Allah.

Coba kalau doktrin-doktrin qishos, rajam, jihad dituduh mengahambat program kelestarian manusia, potong tangan dituduh memperbanyak data tangan buntung, jilbab dituduh kurang gaul, lalu pembunuhan keji tanpa dosa, ekspansi wilayah, pemerkosaan, sanksi apa yang membuat mereka jera, faktanya semakin jauh manusia dari hukum-hukum Allah semakin banyak tindak-tindak yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Jadi hukum-hukum Allah yang harus dipraktekan manusia di dunia adalah untuk membimbing mereka menuju kesempurnaan hidup di akhirat kelak, tanpa ada teror kematian, sehingga program kelestarian hidup manusia akan terwujud. Mari kita simak ayat-ayat berikut :

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى ...الآية (البقرة: 178)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishoh berkenan dengan orang-orang yang dibunuh.”

ولكم في القصاص حياة يا أولي الألباب لعلكم تتقون (البقرة: 179)
“Dan dalam qishoh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertaqwa.”

كتب عليكم القتال وهو كره لكم، وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم، وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم، والله يعلم وأنتم لا تعلمون. (البقرة: 216)
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”

والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله، والله عزيز حيكم. (المائدة: 38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana.”

الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة، ولا تأخذكم بهما رأفة في دين الله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر، وليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين. (النور: 2)
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah. Jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”

عن أبي هريرة وزيد بن خالد الجهني رضي الله تعالى عنهما أن رجلا من الأعراب أتى رسول الله  فقال: يا رسول الله، أنشدك الله إلا قضيت لي بكتاب الله تعالى، فقال الآخر- وهو أفقه منه -: نعم، فاقض بيننا بكتاب الله وأذن لي، فقال: قل قال إن ابني كان عسيفا على هذا فزنى بامرأته وإني أخبرت أن على ابني الرجم فافتديت منه بمائة شاة ووليدة، فسألت أهل العلم فأخبروني أن على ابني جلد مائة وتغريب عام وأن على امرأة هذا الرجم. فقال رسول الله : والذي نفسي بيده لأقضين بينكما بكتاب الله الوليدة والغنم رد عليك وعلى ابنك جلد مائة وتغريب عام واغد يا أنيس إلى امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها.( متفق عليه )

Rumus paramedis mengatakan “Tindakan pencegahan lebih efektif dari pada pengobatan”, kalau kita memakai teori ini berarti uasaha pencegahan pelanggaran hak-hak asasi manusia lebih baik dari pada tindakan penyelesaian setelah pelanggaran HAM merajalela. Dan inilah tuntunan Allah, jauh-jauh sebelum ada mahluk manusia Allah telah memberi sinyal merah dalam bentuk larangan-larangan-Nya dengan sanksi-sanksi yang jelas agar umat manusia menjauhinya. Jadi tidak cukup kalau hanya dengan menggelar Deklarasi perlindungan HAM, demo anti narkoba, kampanye pemakaian kondom yang katanya untuk mencegah penularan virus HIV tapi justru melegalkan praktek perzinaan di planet bumi ini untuk menghentikan praktek pelanggaran HAM yang sudah merajalela di dunia.

6. Mengkritik Kelompok Yang Memperjuang-kan Syariat Islam Sebagai Generasi Yang Malas Berfikir

Ini juga terlalu over, sebab kalau kita mengaku muslim, pasti merasa hutang jasa pada kelompok ini, yang bersedia mewakili kewajiban Amar Ma’ruf Nahi ‘Anil Munkar. Mereka ingin syariat jihad, qishos, rajam, potong tangan, penarikan zakat mal, hukum cambuk, bisa dipraktekan dibumi ini, dan itu semua tidak mungkin tanpa peran aktif Daulah Islamiyah, dan inilah inti perjuangan mereka yaitu mewujudkan Daulah Islamiyah. Kelompok militan seperti ini, dijadikan musuh abadi Islam Liberalis, sebab kalau misi kelompok militan ini berhasil, maka hancurlah dominasi Barat di dunia internasional, dan itu merupakan tanggungjawab kontributor-kontributor Islam Liberal sebagai kepanjangan tangan Orientalis Barat, maka dengan berbagai cara akan mereka lakukan untuk menghambat gerak Islam militan.

Sebagai pihak yang berhutang jasa, mestinya minimal kita menyampaikan terima kasih pada kelompok militan, tidak malah memusuhi. Tapi mungkin karena masih punya hutang jasa sama orang lain (Orientalis Barat) yang belum lunas pembayarannya, jadi mereka belum sempat membayar hutang jasanya pada teman sendiri. Dan kita do’akan semoga cepat lunas, sehingga bisa bersama lagi. Amin !

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pejuang-pejuang syariat yang terhimpun dalam organisasi-organisasi atau gerakan-gerakan, kami minta maaf, karena belum bisa bergabung dengan kalian, sebab generasi-generasi yang kita miliki sekarang belum bayak yang benar-benar bermoral Islam. Buktinya yang menolak syariat Islam dijadikan hukum positif negara itu ternyata teman-teman kita sendiri, jadi untuk masa sekarang ini menurut kami yang paling ideal adalah meramaikan ( menggenjot kwalitas dan kwantitas ) Tarbiiyah Islamiyah ‘ala Thoriqotis Salafis Sholeh, bukan membuat organisasi atau gerakan, sebab hanya dari sinilah nanti bisa diharapkan genersi-generasi yang benar-benar bermental akhirat, sehingga perjuangan Islam akan menuai kesuksesan. Tapi kapan itu? …..

Inilah yang membuat mayoritas pemikir malas menengok teori ini, apa lagi untuk mensosialisasikan sekaligus mempraktekannya, padahal ini adalah teori patent yang setiap orang berakal mengakui kevaliditasannya.

Coba lihat, berangkat dari teori inilah Rosulullah SAW berhasil mengantarkan para Shohabat dan Tabi’in mencapai masa keemasan Islam, puncaknya pada tahun 13 H, awal kepemimpinan Umar Ibnul Khottob R.A. berhasil membebaskan Baitul Maqdis (bumi para Nabi yang menjadi sengketa tiga agama samawi) dari cengkraman kaum Salibis Romawi, yang secara idealis aqidah agama samawi, umat Islamlah yang berhak mewarisinya, tapi secara historis, Yahudi mengklaimnya sebagai pewaris tunggalnya, sebab Nabi Isro’il (Ya’qub)-lah yang membangun Baitul Maqdis lebih dari 40 tahun setelah Nabi Ibrohim as. membangun Baitul Harom (Ka’bah), dan secara geografis, Nasroni juga mengklaim sebagai pewaris yang sah, sebab disitulah tempat dilahirkan Nabi Isa as. Kemudian setelah terjadi degradasi generasi Islam, akhirnya Baitul Maqdis direbut kembali oleh kaum Salibis (491 H.). Kemudian muncul-lah mujahid Islam, yaitu Sulthon Nuruddin As-Syahid dan Sholahuddin Al Ayyubi, apa yang dilakukannya ?…., ternyata beliau tidak langsung menggerakkan massa untuk memerangi tentara Salibis, tapi malah mendirikan Ma’had-Ma’had, Madrasah-Madrasah, bahkan Sholahuddin Al-Ayyubi turun sendiri menjadi salah satu Ustadz, malah terkadang menjadi murid. Nah… dari generasi-generasi inilah tahun 583 H. Sholahuddin Al Ayyubi berhasil membebaskan kembali Baitul Maqdis dari ekspansi tentara-tentara Salib.

Ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita yang ingin mengulang masa-masa keemasan Islam, tapi jalur yang kita tempuh harus terang dan jelas (Tarbiyah Islamiyah), walupun kita tak pernah tahu kapan suksesnya? dan itu merupaka resiko jalur lurus!, tapi kalau kita potong kompas, memakai jalur pintas, tanpa melihat kualitas generasi kita, apakah mental akhirat sudah benar-benar tertancap pada jiwa mereka atau belum?, langsung menggerakan masa, menyampaikan aspirasi dengan menggelar demonstrasi, bahkan mungkin ada yang merakit Bom, ini semua malah berbahaya, sebab kita akan dituduh subversif, makar terhadap pemerintah, zionis internasional mengambing hitamkan kita dengan sebutan “teroris”, malah kalau ada korban dari pihak pemerintah (aparat keamanan) berarti seakan-akan kita memposisikan birokrasi sekarang ini “kafir” yang wajib diperangi, padahal mereka itu sholat seperti kita. Jadi, jangan ikut-ikutan seperti pejuang-pejuang pembebas Palestina, karena yang dihadapi mereka itu jelas kafirnya yaitu Zionis Yahudi. Kita harus bisa menta’wil, mungkin mereka (birokrasi Indonesia) kurang faham tentang Islam, atau di bawah tekanan zionis internasional. Sebaliknya, kalau korbannya dari pihak demonstran, ini juga berbahaya, sebab seakan-akan demonstrasi itu subversif (Bughot) yang harus diperangi, padahal para demonstran itu belum tentu sudah memenuhi kreteria bughot, sebab biasanya mereka tidak bersenjata.

Jadi walaupun secara logika potong kompas lebih cepat daripada jalur lurus, tapi untuk sampai ketujuan teori pontong kompas pun tidak bisa menjamin, walaupun menjanjikan perjalan expres, tapi untuk sampai di stasiun, apakah secepat perjalanannya? ….dan kalau mencermati resiko perjalanan, teori potong kompas lebih banyak resikonya dibanding teori jalur lurus.

Jadi inilah jalan yang membutuhkan kesabaran dan keuletan sejati. dan itulah perintah Alqur`an.

يا أيها الذين آمنوا إن تطيعوا فريقا من الذين أوتوا الكتاب يردوكم بعد إيمانكم كافرين (آل عمران: 200)
“Hai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”

III. SEKILAS ISLAM LIBERAL

Pada tahun 1973 M, dua ahli Islamologi Amerika, Fazlur Rohman dan Leonard Binder ke Indonesia. Mereka berkeliling ke Kampus-kampus Jakarta, mencari bibit intelektual muda untuk di godok di negeri sentral Yahudi, tepatnya di University of Chicago. Setelah beberapa lama berkeliling, mereka menemukan seorang pemuda, Nurcholis Madjid. Pemuda lulusan pondok Gontor dan IAIN ini, akhirnya di ajak mereka mengadakan proyek penelitian (1976 M) yang didanai Ford Foundation dan selanjutnya diberi beasiswa untuk melanjutkan studi Pasca Sarjana dan Doktoralnya disana.

Riset kedua tokoh ini melibatkan puluhan ahli dan sarjana untuk meneliti lima masalah pokok.

Pertama: Pendidikan agama dan perubahan peran ulama dalam Islam.

Kedua: Syariat dan kemajuan ekonomi

Ketiga: Keluarga dalam masyarakat dan huukm Islam masa kini

Keempat: Islam dan masalah legalitas politik

Kelima: Perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat muslim masa kini.

Negeri-negeri muslim yang dipilih untuk riset itu adalah: Indonesia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran dan Maroko. Hasil riset ini kemudian dibukukan oleh Rohman dalam karyanya “Islam and Modernity”: Transformation of an Intellectual Tradition (1982 M), sedangkan Binder menuliskannya dengan judul: “Islamic Liberalism” pada tahun 1988 M.

Pada tahun 1984 M. Nurcholis Madjid menyelesaikan doktoralnya dengan desertasi yang berjudul: “Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah; A Problem of Reason and Revelation In Islam”. Mungkin sebagai balas budi, ia kini terus menjalin hubungan dengan negeri tempat belajarnya itu dengan merangkul Ford Foundation, untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dipimpinnya di Paramadina, baik berupa sekolah, yayasan, universitas, penerbitan buku, jaringan internet dan kajian-kajian, serta pengiriman mahasiswa untuk study Islam ke Barat. Seperti gurunya, dimana-mana ia kampanye soal sekulerisme, Islam pluralis, beragamalah inklusif jangan eksklusif, Yahudi dan Nasrani juga “ Islam” (penyamaan agama), partai Islam No, dll. Kader-kadernya di Paramadina pun tak kalah agresif dengannya, seperti: Qomaruddin Hidayat, Budi Munawar Rohman, Sukidi dll. Sayap yang lebih agresif dan radikal adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan kader-kader mudanya: Ulil Abshor Abdallah, Lutfi As-Syaukani, Deni JA, Ahmad Sahal dll.

1. Definisi Islam Liberal.
Liberalisme agama, menurut Binder adalah memperlakukan agama sebagai pendapat dan karenanya mentolelir keanekaragaman dalam bidang yang justru diyakini hitam putih oleh kaum teradisionalis. Menurutnya, agama dan politik boleh jadi tidak tergolong sebagai dua realita hidup yang berlainan, namun keduanya tidak bisa dipahami secara persis. Agama dapat diserap melalui nurani, sedangkan politik dipahami menggunakan nalar.

Dengan sudut pandang yang demikianlah, maka apapun yang tidak bisa dinalar akan disisihkan dari wacana politik rasional.

Kesimpulannya, paham liberal adalah mencampur adukkan semua agama tanpa membedakan apa yang samawi dan non samawi.

2. Misi Islam liberal.
Dalam latar belakang pendirian JIL dinyatakan kehawatiran akan bangkitnya “Extrimisme” dan “fundamentalisme” agama sempat membuat orang kawatir akhir-akhir ini. Jadi, JIL bertujuan untuk melawan atau menghambat gerakan Islam militan atau Islam fundamentalis. Gejala yang menunjukan perkembangan seperti itu memang cukup banyak, munculnya sejumlah kelompok militan Islam, tindakan pengerusakan gereja (juga tempat ibadah yang lain), berkembangnya sejumlah media yang menyuarakan aspirasi Islam militan, penggunaan istilah jihad sebagai alat pengesah serangan terhadap agama lain, dan semacamnya, adalah beberapa perkembangan yang menandai bangkitnya aspirasi keagamaan yang extrim tersebut. Selain itu, JIL juga berterus terang ingin menghambat kekompok-kelompok yang berjuang untuk menerapkan syari’at Islam.

3. Ciri-ciri Islam Liberal.
Liberalisme agama, menurut Binder adalah memperlakukan agama sebagai pendapat dan karenanya mentolelir keaneka-ragaman dalam bidang yang justru di yakini hitam-putih oleh kaum tradisionalis. Menurtnya, agama dan politik boleh jadi tidak tergolong sebagai dua realita hidup yang berlainan, namun keduanya tidak bisa dipahami secara persis. Agama dapat diserap melalui nurani, sedangkan politik dipahami menggunakan nalar. Dengan sudut pandang yang demikianlah, maka apapun yang tidak bisa dinalar akan disisihkan dari wacana politik rasional.

Professor William Liddle menyatakan Islam liberal atau Islam substansialis punya empat ciri,

Pertama; Mereka percaya bahwa isi dan substansi ajaran agama Islam jauh lebih penting daripada bentuk dan labelnya. dengan menekankan substansi ajaran moral, sangat mudah bagi kaum substansialis ini untuk mencari common ground denganb penganut agama dan kaum moralis lainnya untuk membentuk aturan publik bersama.

Kedua; mereka percaya, walau Islam (Alqur`an) itu bersifat universal dan abadi, namun ia tetap harus terus menerus diinterpretasi ulang untuk merespon zaman yang terus berubah dan berbeda. Zaman pasca industri menjelang abad ke 21 ini jelaslah berbeda secara ekonomi, politik dan kultur, dengan zaman ketika Islam pertama kali turun di era sebelum industri, lebih dari seribu tahun.

Ketiga; Mereka percaya karena keterbatasan pikiran manusia, mustahil mereka mampu tahu setepat-tepatnya kehendak Tuhan. kemungkinan salah menafsirkan kehendak Tuhan harus terus hidup dalam pikiran mereka. dengan sikap ini, mereka akan lebih bertoleransi atas keberagaman interpretasi dan membuat dialog dengan pihak yang berbeda. kompromi untuk hal-hal yang bersipat publik, yang mengatur kehidupan bersama, lebih mudah dilakukan . kesediaan berkompromi adalah salah satu sokoguru demokrasi.

Keempat; Mereka menerima bahwa bentuk negara indonesia sekarang yang bukan merupakan negara Islam adalah bentuk final. dengan keyakinan ini, mereka tak akan berupaya mendirikan negara Islam yang menjadikan negara sebagai instrumen agama Islam saja. netralitas negara terhadap pluralias agama diindonesia akan sangat mudah diterima.

4.Tokoh-tokoh Islam Liberal.
Dalam internet milik mereka ada sejumlah nama sebagai berikut :

-Nurcholis Majid, Universitas Paramadina Mulya Jakarta,
-Charles Kurzman, University of North Carolina,
-Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
-Abdullah Laroui, Muhammad, V University Maroko,
-Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Jakarta,
-Gunawan Muhammad, majalah Tempo Jakarta,
-Edward Said, Johan Efendy, Deakin, university Australia,
Abdullah Ahmad Annaim, University of Khartoum Sudan,
-Jalaluddin Rohmat, Yayasan Mutthohhari Bandung,
-Asghor Ali Engineer, Nasarudin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
-Muhammad Arkoun, University of Sorbone Prancis,
-Komarudin Hidayat, Yayasan Paramadina Jakarta,
-Sadeq Jalal Azam, Damascus University Suriah,
-Said Aqil Siradj, PBNU Jakarta,
Denny JA, Universitas Jayabaya Jakarta,
-Rizal Mallarangeng, CSIS Jakarta,
-Budhi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina Jakarta,
-Ihsan Ali Fauzi, Ohio university AS,
-Taufik Adnan Amal, IAIN Alauddin Ujung Pandang,
-Hamid Basyaib, Yayasan Aksara Jakarta,
-Ulil Absor Abdalla, Lakpesdam NU Jakarta,
-Luthfi Assyaukani, Universitas Paramadina Mulya Jakarta,
-Saiful Mujani, Ohio State AS,
-Ade Armando, Universitas Indonesia Depok Jakarta,
-Samsurrijal Panggabean, Universitas Gajah Mada Jakarta.

Mereka inilah kontributor-kontributor JIL yang diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang plularis dan inklusif. Program ini mereka sebut “ Jaringan Islam Liberal “.

IV- PENUTUP.
Kepada segenap kaum muslimin yang dimulyakan Allah, Nabi Muhammad telah bersabda :

لاتزال طائفة من أمتى ظاهرين على الحق لايضرهم من خذلهم ولا من خالفهم الى قيام الساعة (رواه البخاري )

Fitnah ini (serangan anak didik orientalis yang terorganisir dalam JIL melalui pemikiran-pemikiran miringnya), telah memecah kita menjadi tiga kelompok :

Pertama; Kelompok yang mendapat predikat juara Dhohirina ‘ala al-Haq, ini kelompok elite, mereka adalah yang memerangi pemikiran-pemikiran Islam liberal

Kedua; Kelompok diskreditor (Man Khodzalahum), mereka adalah kelompok yang cuek menghadapi serangan-serangan pemikiran liberalis.

Ketiga; Kelompok cuek (Man Khoolafahum), mereka adalah barisan jaga jarak (golput), selalu menjaga netralitas dari dua kelompok yang pro dan kontra.

Terakhir, ini adalah realita yang berbenturan dengan idealisme, dan itulah rumus sunnatullah agar stabilitas aqidah Islam terjaga. Disebut dalam Alqur`an :

ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لفسدت الأرض ولكن الله ذو فضل على العالمين. (من سورة البقرة: 251)
“…seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia yang di(curahkan) atas semesta alam.”

Dan benturan tadi bisa mendorong munculnya Ahlul Haq yang terpanggil untuk mengemban tugas suci ini sebagai penerus generasi Assabiquunal al-Awwaluun mina al-Muhajiriin wa al-Anshoor yang tersebut dalam QS. Al-Taubah; 100:

والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا، ذلك الفوز العظيم. (التوبة: 100)
“Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan merekapun ridlo kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. itulah kemenangan yang besar.”

Wallahu a’lam bi al-Showab
REFERENSI :
Al-Qur`an.
Bukhori, Hadits.
Muslim, Hadits.
Abu Dawud, Hadits.
Ibnu Taimiyah, Tsalatsu Rasail filjihad.
Ibnu Katsir, Tareh Albidayah wan Nihayah.
Dr. Said Romdhon Al Buthi, Al-Jihad fil al-Islam.
Media Dakwah, edisi 333

Dzulhijjah 1422, H, Maret 2002.
Read More...

Liberalisme II; Liberalisme Kemal Attaturk

Jumat, 29 Oktober 2010

Bismillah...

Bisa dikatakan, pada dasarnya, istilah “Islam progresif”, “Islam Liberal”, “Islam sekuler”, “Islam reduksionis”, “Islam akomodatif”, dan sejenisnya sebenarnya merujuk pada “makhluk yang sama”, yaitu tentang “Islam yang tunduk atau tersubordinasikan kepada barat”. Adalah menarik. Dalam tulisannya di harian Republika (17-18 Juli 2001), yang berjudul “Islam Liberal dan Masa Depannya”, Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa ekspresi pemikiran liberal dalam politik adalah menolak formula klasik, dengan contoh ekstremnya antara lain terlihat pada Ali Abdur Roziq dan Kemal Attaturk.


Komaruddin menulis, “Namun, kendati sangat apresiatif terhadap peradaban barat, mereka tetap berpandangan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi tetap harus berpijak pada nilai-nilai Islami .Dengan kata lain, pemikiran liberal menekankan pada substansi kemanusiaan dan universalisme Islam, yang itu nantinya akan bergesekan dengan warisan pemikiran ortodoks yang sangat teguh pada komitmen terhadap simbol-simbol agama dan bercorak skripturalis. Di Indonesia, Soekarno dan Muhammad Hatta adalah contoh yang tidak bisa diabaikan. Karena itu Indonesia, meskipun mayoritas penduduknya muslim, tidak menjadikan Islam sebagai dasar Negara.”

Dimasukkannya Kemal Attaturk dan Soekarno ke dalam barisan Islam Liberal semakin memperjelas sosok Islam Liberal, bahwa gerakan ini memang merupakan gerakan sekularisasi, yang merupakan rangkaian gerakan oleh Ali abd Raziq, Kemal Attaturk, Soekarno, Nurkholis Madjid, dan Ulil Abshor Abdalla. Tentu dengan segala variannya masing-masing .

Untuk memperjelas, bisa disimak tindakan Kemal Attaturk di Turki saat ia berkuasa. Turki secara tegas menyebut dirinya sebagai Negara sekuler . UUD Turki pasal 1 menegaskan, Turki adalah Negara (1) Republik, (2) Nasionalis, (3) Kerakyatan, (4) Kenegaraan, (5) Sekularis, (6) Revolusioneris. Karena itulah, hal-hal yang dianggap membahayakan prinsip sekuler akan diserang.

Islam yang dipeluk oleh 99% rakyat Turki diaggap sebagai suatu ancaman paling potensial yang dapat menghancurkan prinsip sekuler tersebut. Apalagi, kenyataan menunjukkan bahwa Islam ternyata tidak pernah mati di Turki, meskipun segala macam cara telah dilakukan untuk “mensekulerkan” rakyat Turki. Bahasa Arab diganti bahasa Turki, lembaga pendidikan agama ditutup, wanita dan pria dipaksa berpakaian ala barat, huruf arab diganti huruf latin , kalender Islam diganti dengan kalender masehi, dan sebagainya. Pada Desember 1995, partai Refa yang “berhaluan” Islam menang dalam pemilu, dengan meraih 21% suara.

Proses sekularisasi Turki secara resmi dimulai dengan proklamasi Negara republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Mustofa Kemal terpilih sebagai presiden pertama, ia lalu mengganti nama menjadi Kemal Attaturk (Bapak bangsa Turki). Attaturjk ingin menjadikan Negara Turki modern yang berdasarkan kebudayaan barat. Setelah berkuasa, ia melakukan reformasi agama. Sejak awal, meskipun dilakukan dengan paksa, tidak semua keinginan berhasil. Upaya untuk mengganti bacaan sholat dengan bahasa Turki gagal diwujudkan. Hanya adzan untuk pertama kalinya secara resmi dikumandangkan dalam bahasa Turki pada bulan Januari 1932. Fakultas teologi ditutup dan diganti dengan institut riset Islam pada tahun itu juga. Tahun 1935, libur mingguan hari Jumat diganti dengan libur mingguan mulai pukul 01.00 hari Sabtu sampai hari Senin pagi. Menurut prof. Mukti Ali, rencana untuk mensekulerkan Turki sejak awal memang tidak sukses .

Para pemimpin sekuler Turki modern selalu menerangkan bahwa reformasi yang mereka lakukan tidaklah ditujukan untuk melawan Islam, tetapi hanya ingin mengakhiri kekuasaan para ulama’. Menempatkan Islam subordinasi terhadap Negara juga menunjukkan kepercayaan yang mendalam dari orang-orang sekularis bahwa Islam bertanggung jawab terhadap kemunduran dan keterbelakangan bangsa Turki .

Jika reformasi agama tahun 1928 itu berhasil, maka akan lahirlah versi modern dari Islam yang didasarkan pada nasionalisme, filsafat, dan sains.ia akan merupakan Islam lain diluar batas-batas Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Para reformis Turki menolak ciri universal Islam. Kesultanan atau kekhilafahan yang universal diganti dengan Negara nasionalis Turki .

Pada mulanya, mereka juga bermaksud mengubah masjid menjadi gereja Islam modern, tetapi ternyata mustahil dilaksanakan, sebagaimana halya usaha untuk menjadikan bahasa Turki sebagai bacaan sholat. Masyarakat menentang keras upaya tersebut. Yang kemudian berhasil adalah perubahan Aya Sofya (Hagia Sophia), gereja Byzantium,menjadi museum. Gereja ini telah dijadikan masjid oleh Sultan Muhammad II . “Sukses” sekularisasi lainnya adalah penggunaan bahasa Turki untuk adzan tahun 1932. Adzan versi Turki ini disiapkan oleh himpunan linguistic dan disiarkan oleh kantor kepresidenan urusan agama. Melodi adzan versi Turki disetujui oleh konserfatori musik nasional, Ankara.Tahun 1933, keluar keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa adzan dalam bahasa arab merupakan pelanggaran,

Gagasan sekularisme Attaturk dalam bidang kenegaraan pada dasarnya berupa pemisahan agama dari Negara. Menurut Attaturk, apabila agama dipergunakan untuk memerintah masyarakat, ia senantiasa dipergunakan sebagai alat dalam tangan raja diktator untuk menghukum pemisahan agama dengan Negara akan menyelamatkan bangsa dari malapetaka .

Pemisahan agama dari Negara dimulai tahun 1928 dengan menghapus artikel–artikel dari konstitusi Turki yang menyebutkan bahwa agama Negara adalah Islam. Sebelumnya , tahun 1924, biro Syaikh Al-Islam dihapuskan. Begitu juga kementrian syariat dan mahkamah syariat. Proses ini dimaksudkan untuk menggusur otoritas syariat dan meletakkan kedaulatan rakyat secra mutlaq. Negara tidak ada lagi hubungannya dengan agama. Sembilan tahun kemudian, 1937,prinsip sekularisme dimasukkan kedalam konstitusi Turki, sehingga resmilah Turki menjadi Negara republic sekuler ‘

Dalam soal perkawinan, hukum perkawinan tidak lagi dilakukan sesuai dengan syariat Islam, tetapi dilakukan sesuaio hukum sipil yang diadopsi dari swiss (Swiss Civil Code). Wanita mendapat hak cerai sama dengan laki-laki. Poligami dilarang. Secara hukum, wanita muslimah mendapat hak untukmenikah dengan pria non muslim. Hak untuk pindah agama juga dijamin undang-undang. Menurut James A.Bill dan Carl Laiden, bentuk serangan Attaturk terhadap agama yang penting adalah politil nasionalis – revolusioner yang diterapkannya melalui semboyan “ Turki adalah bangsa Turki” . Mereka mencatat, “As important Attatruk’s direct attack on Religion was his political nationalist revolution of Turkey for the Turks”.

Tahun 1924 dikeluarkan UU penyatuari pendiikan yang mewajibkan seluruh sekolah berada di bawah pengawasan kementrian pendidikan. Madrasah-madrasah ditutup dan diganti dengan sekolah yang membina imam dn kitab. Selanjutnya,pendidikan ditiadakan di sakolah-sekolah perkotaan padatahun 1930 daaaan di sekolah-sekolah pedesaan pada tahun 1933. Pelajaraan Arab dan Persia di hapus pada tahun 1923. Pada tahun ini juga tulisan Arab diganti dengan tulisan latin.

Di bidang budaya, proses sekuralisasi-juga westernisasi-di lakukan antara lain dengan pelarangan penggunaan topi adat turki,Terbus, tahun 1925. Sebagai gantinya dianjurkan pemakaian topi Baraat. Pakaian kkkkeagamaan juga di larang dan rakyat turki, baik pria maupun wanita,diharuskan mmenggenakan pakaian barat.
Menurut harun nasution, gagasan attaturk berdasar pada westernisme, sekuralisme, dan nasionalisme. Dalam salah satu pidatonya, attaturk mengatakan kelanjutan hidup di dunia peradaban modern menghendaki dari suatu masyarakat supaya mengadakan perubahan dalam diri sendiri. Di zaman yang dalamnya ilmu pengetahuan membawa perubahan terus menerus, bangsa yang bertegang teguh pada pemikiran dan tradisi tua lai usang, tidak akan dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat turki harus diubah menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksi oner harus di hancurkan.

Attaturk menjalankan menjalankan pemerintahan secara dictator. Ia tak segan segan menghukum mati orang-orang yang enggan kepada pemerintahan Kemalis. Pada tanggal 13 Juli 1926, 15 orang di gantung di muka umum. Tahun 1930, 800 orang anti Kemalis. Tahun 1931 keluar peraturan yang melarang media masa mengeluarkan propaganda yang dianggap membahayakan pemerintahan Kemais.

Soekarno memang dikenal sebagai pengagum berat Kema Attaturk. Apa yang dilakukan Attaturk meskipun menindas Islam, dipuji-puji oleh Soekarno. Dalam majalah Pandji Islam –pimpinan tokoh Masyumi Zainal Abidin Ahmad- nomor 13 dalam 13 tahun 1940, bung karno menulis sebuah artikel berjudul “memudakan Islam’’. Dalam tulisannnya Bung karno memuji langkah-langkah sekuralisasi yang dijalankan Attsturk di turki.
Bung karno menyebut langkah pemisahan agama dari ngara Attaturk sebagai langkah ”paling modern” dan “paling radikal”. Kata Bung karno, “agama di jadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu di hapuskan oleh orang turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia turki iu sendiri, dan tidak kepada Negara. Karena itu, salahkah kita kalau kita mmengatakan bahwa turki anti agama, anti-Islam. Salahkah kita kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya,Rusia”
Mengutip frances WoodsmalL, Bun karno mencatat, “The attitude of modern turkey towords Islam has been anti- ortodoks,or anti-ecclestiacial,rather than ati-religious…The validity of Islam as a personal belief has not been denied. There has been no cessation of the services in the mosque, or rather religious observance.” (Turki modern adalah anti kekolotan,antiekliestikal (model kekuasaan gereja / ulama’) ,teyapi tidak anti agama. Islam sbagai kepercayaan individual tidaaaaaaak di tolak. Sembahyang di masjid tidak di larang, malahaan ketaaan pada agama pun tidak di larang).
Menurut sukarno, apa yang dilakukan turki sama apa yang dilakukan Negara-negara Barat. Di Negara-negara seperti inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan lain-ain, urusan agama di serahkan pada individu pemeluknya. Agama menjadi urusan pribadi, dan tidak di jadikan sebagai urusan Negara, tidak di jadikan sebagai agma resmi Negara. Untuk memperkuat pendapatnya, Soekarno mengutip pendapat Halide Edib Haanoum dalam bukunya Turkey faces West, “kalau Islam teracam bahaya kehilangan pengaruhnya di atas rakyat turki, maka itu bukan karena tidak diurus oleh pemerintah…Umat Islam terikat kaki tanganya dengan rantai kepada politiknya pemerintah itu. Hal ini adalah suatu halangan yang besar sekai buat kesuburan dslam di turki… Dan bukan saja di turki, tetapi dimana saja, dimana pemeritah campur tangan didalam urusan agama, disitu ia menjadi suatu halangan besar dapat dienyahkan.

“Karena itu, menurut pemimpn-pemimpin turki, justru buat kesuburan Islam itu, maka Islam di merdekakan dari pemeliharaan pemerintah. Justru buat kesuburan Islam, maka kholifah di hapuskan, lantor komesariat syariat di tutup. Kode (undang-undang) Swiss sama sekali diambil oper buat pengganti hukum famili yang tua. Bahasa Arab dan huruf Arab yang tidak dimengerti oleh kebanyakan rakyat turki diganti dengan bahasa turki dan huruf latin. Seluruh pergaulan hidup, terutama kedudukan perempuan, dipermodern oleh Negara, oleh Negara tidak menanya lagi, “Diperbolehkan atau tidak, aturan ni oleh syari’at?” Umat, yang tidak lagi takut-takut bertabrakan dengan Negara ditentang urusan Agama-oleh karena negara memang tidak campur tangan lagi di dalam urusan agama-lamtas mempermodern pula agama itu. Adzan kini ia dengungkan dengan bahasa Turki. Qur’an sama sekali diturkikan, sebagai mana Bijbel dibelandakan atau di inggriskan, kedudukan perempuan dimerdekakan juga dari ikatan-ikatan kekolotan.” Kata Soekarno, memuji langkah-langkah sekuralisme Turki.

Menggutip pendapat Muhammad Essey Bey, Mentri kehakiman Turki saat pengoperan Civiele Code swiss, Soekarno menyebutkan, “Manakala Agama dibuat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu di pakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang orang Zalim, dan orang-orang tangan besi. Manakala zaman modern memishkan dunia dari banyak kebencanaan, dan ia memberikan kepada agama itu satu singgasana yang maha kuat di dalam kalbu kaum yang percaya”.
Jadi, simpul Soekarno, buat keselamatan dunia dan buat kesuburan Agama-bukan untuk mematikan agama itu-urusan dunia diberikan kepada pemerintah dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama. “Greef den keizer wat des keizers is, en god wat Godes is,” Kata Soekarno mengutip Bijbel.

Siapa Kemal Attaturk? Tokoh sekuler ekstrem ini dilahirkan Tahun 1881 di daerah Solanika, Ali riza bekerja sebagai pegawai kantor di kota itu, dan ibunya Zubaidah, seorang yang taat bragama dan selalu memakai purdah. Maryam Jameela, dalam bukunya “Islam dan modernidasi mencatat bahwa Ali Riza adalah seoraang pecandu alkohol. Sebagaian penulis Barat menyebutkan, kemal adalah anggota Free masonry, organisasi rahasia yahudi yang di dirikan di London, 1717. Dalm buku Wajah dunia Islam, Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakkil, (1998;314), menyebutkan bahwa Kemal juga merupakan tokoh organisasi “Persatuan dan kemajuan ” yang mayoritasnya anggotanya adalah orang-orang yahudi. Orang -orang Turki menamakan orang-orang yahudi dengan sebutan “Dunamah”, yang beratti kafir atau ateis.
Dalam bukunya, Islam versus The West, (1994:32), Maryam Jameeela mencatat perbedaan antara dua tokoh sekuralis Yurki, yaitu Ziya Gokalp dan Attaturk. Ziya Gokalp, menuntut Jameela, selalu tampil sebagai muslim yang baik. Sedangkan, Attaturk tidak menyembunyikan dirinya sbagai seorang ateis.” In contrast to Kemal Attaturk who made no secrect of theism atheisme, Ziya gokalpalways regarded himself as a good Moslem,” tulis maryam Jameela, seorang keturunan yahudi Amerika yang sebelum masuk Islam bernama Margaret Marcus. Attaturk meninggal pada 10 November 1938 pada usia 57 tahun. Jenazahnya di simpan di museum Etnografi Ankara hingga tahun 1953, lalu disimpan ke Mosulimnya.

Hingga kini, warisan sekuralisme Attaturk masih dikeramatkan di turki. Menggenakan jilbab di kantor pemerintah dan parlemen masih tetap di larang. Inilah buah sekuralisme atau libealisme Islam yang kini dibangga-banggakan o;leh kaum liberal. Jika Kemal Attaturk yang menindas Islam di katakan sebagai “liberal” maka sulit untuk tidak menyatakan bahwa “Islam liberal” memang ancaman bagi kebangkitan Islam.
[al-Misyk@t]
Read More...

Penelitian Depag tentang Liberalisme

Peneliti Depag mengatakan, di Surabaya tokoh-tokoh keagamaan banyak mendukung pemikiran Islam Liberal.
Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-171

Oleh: Adian Husaini

Pada Senin (20 November 2006), saya mengisi acara ceramah dan diskusi tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Sore hari, acara dikhususkan untuk para ustad dan tokoh masyarakat Gresik dan sekitarnya. Saat itu, hadir lebih dari 200 orang. Malam harinya, acara dilakukan dalam bentuk pengajian umum di lapangan terbuka, yang dihadiri ribuan masyarakat dari daerah Gresik dan Lamongan. Bahkan, banyak jamaah dari jauh yang datang dengan kendaraan truk.


Saya terkejut menyaksikan besarnya minat masyarakat Gresik untuk mendengarkan pemaparan tentang Islam Liberal. Menurut pimpinan pesantren, hal itu disebabkan masalah paham liberal keagamaan – yang lebih populer dengan sebutan ‘Islam Liberal’ – sudah disebarkan sampai ke pelosok-pelosok kampung dan perguruan tinggi Islam. Pesantren pun terkena getahnya, karena ada alumninya yang terkena virus liberal ketika kuliah di perguruan tinggi tertentu.

Disamping itu, pesantren Maskumambang memang pesantren tua yang memiliki tradisi ilmu yang cukup baik dan memiliki ribuan alumni yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Pesantren ini dipimpin oleh seorang kyai cerdas dan kharismatis bernama KH Nadjih Ahjat (71 tahun), yang kini juga duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Disamping mengajar dan berceramah, Kyai Nadjih Ahjat juga seorang penulis buku yang handal dan penerjemah sejumlah kitab berbahasa Arab. Saya sudah mengenal nama Kyai Nadjih sejak duduk di bangku SMAN 2 Bojonegoro, sekitar tahun 1981. Salah satu bukunya yang berjudul ‘Iman Jalan Menuju Hidup Sukses’, merupakan salah satu buku bacaan favorit saya.

Buku ini memberikan dorongan semangat yang tinggi agar seorang muslim dapat meraih prestasi-prestasi besar dalam kehidupan dengan tetap berpegang dasar iman yang kuat.

Kepada ribuan masyarakat muslim itulah, saya membacakan hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang apa itu paham Islam Liberal, yang sebagian telah kita ungkapkan pada catatan yang lalu. Salah satu yang membuat mereka takjub adalah pendapat bahwa umat boleh menyembah Tuhan apa saja, dengan cara apa saja, dan juga pandangan bahwa Al-Quran bukan lagi dianggap wahyu yang suci, tetapi merupakan produk budaya.

Tentulah masyarakat Jawa Timur masih mengingat peristiwa yang menghebohkan yang terjadi di IAIN Surabaya bulan Mei lalu, ketika seorang dosennya menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri, dengan alasan bahwa tulisan itu tidak suci. Si dosen juga berpendapat, bahwa Al-Quran adalah produk budaya dan tulisannya tidak suci. Kepada masyarakat yang hadir saya menjelaskan, bahwa cara pikir liberal itu memang sudah diajarkan di sejumlah perguruan tinggi Islam.

Dan tentu saja, cara pikir seperti itu adalah sesuatu yang sangat keliru. Sesuatu tulisan, karena merupakan simbol dari Yang Maha Suci, maka tulisan itu menjadi suci.

Jangankan tulisan yang menjadi simbol nama Allah, tulisan yang menjadi simbol nama Presiden saja akan berbeda nilainya dengan tulisan yang menjadi simbol nama kecoa atau tikus. Cobalah kaum liberal yang menyatakan tulisan Allah dan Al-Quran tidak suci itu datang kepada Presiden SBY. Di depan Presiden, tulislah namanya pada secarik kertas, kemudian injaklah tulisan itu dengan kaki, dengan mata sedikit membelalak, sebagaimana dilakukan oleh dosen IAIN Surabaya ketika menginjak lafaz Allah. Normalnya, Presiden SBY pasti tersinggung dan marah dengan tindakan yang melecehkan namanya itu. Bagaimana dengan Allah, jika nama-Nya dengan sengaja diinjak oleh manusia? Bukankah sangat wajar jika Allah murka jika nama-Nya saja diinjak oleh makhluk-Nya?! Dalam soal keimanan dan peribadahan, Allah sudah mengutus Rasul-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw, untuk mengenalkan nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan bagaimana cara menyembah-Nya yang benar. Maka, sebagai kaum Muslim, kita tidak melakukan ibadah secara sembarangan, melainkan harus berdasarkan petunjuk dan contoh dari Rasulullah saw. Kita tidak shalat secara sembarangan. Kita takbir, membaca al-Fatihah, ruku’, I’tidal, sujud, salam, dan sebagainya, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh utusan Allah. Para ulama tidak mengarang tata cara ibadah dalam Islam. Mereka hanya merumuskan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Tetapi, anehnya, kaum liberal lalu berteriak, “Boleh menyembah tuhan apa saja, dan boleh menyembah Tuhan dengan cara apa saja. Semua benar. Tidak ada yang salah!.

Tentu saja pendapat kaum liberal yang masih mengaku Islam ini sangat ajaib dalam pandangan Islam. Tetapi, yang memprihatinkan kita, sejumlah peneliti Litbang Departemen Agama, malah memberikan dukungan kepada paham liberal, dan menyudutkan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti paham liberal tersebut. Kaum Muslim yang tidak liberal diberi cap-cap dan julukan-julukan yang melecehkan atau menyudutkan, seperti cap Muslim fundamentalis, muslim konservatif, muslim kerdil, dan sebagainya.

Misalnya, peneliti Depag yang meneliti paham keagamaan liberal di lingkungan UIN Jakarta, menulis:

“Gagasan-gagasan keislaman liberal tentunya sangat berbeda dengan pemahaman keislaman kaum fundamentalis sehingga menimbulkan forum permusuhan antara kalangan fundamentalis dengan liberal ketika duduk satu meja pada forum-forum diskusi yang melibatkan kedua pihak.”

Peneliti yang melakukan penelitian di lingkungan IAIN Surabaya juga menulis kesimpulan:

“Di Surabaya, akademisi dan tokoh-tokoh keagamaan secara substansial banyak mendukung pemikiran Islam Liberal, meskipun menolak istilah liberal pada dirinya. Istilah liberal, sebaiknya tidak usah digunakan dalam pergulatan wacana keagamaan, sehingga tidak ada klaim-klaim yang membingungkan. Konflik pemikiran antara kalangan Muslim “liberal” yang menurut saya adalah Islam “rasional” dengan kalangan muslim “kerdil” yang menurut saya adalah Islam “irrasional” mungkin harus dipahami sebagai konflik pemikiran biasa, karena dengan itu akan lahir dinamika keagamaan yang sehat, yang penting tidak ada konflik fisik.”

Peneliti faham liberal di lingkungan IAIN Sumatera Utara menulis dalam laporannya: “Faham yang seringkali bertentangan dengan faham liberal adalah doktrin konservatif yang secara sederhana menyatakan dukungannya terhadap pemeliharaan status quo.” Cara penamaan dikotomis ini memang bagian dari strategi untuk mengkampanyekan paham liberal dalam Islam. Sama dengan cara George W. Bush dalam memerangi terorisme dengan mengatakan: “either you are with us or with the terrorists”; ikut AS atau ikut teroris; menjadi liberal atau menjadi muslim kerdil, radikal, militan, dan sebagainya.

Penggunaan istilah dikotomis ini seringkali menjebak. Sampai ada peneliti Depag yang tampaknya tidak mendukung paham Islam Liberal pun ikut-ikutan membuat istilah dikotomis dalam laporan penelitiannya. Ia menulis dalam laporan penelitian di Makassar:

“Pemikiran keagamaan yang diungkapkan oleh mereka yang mengaku dirinya berpaham liberal banyak mendapat tanggapan negatif dari kelompok konservatif. Puncaknya dengan dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak paham liberal, agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di Indonesia yang problematis.”

Dari berbagai contoh tersebut kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman pola pikir dikotomis yang dikembangkan para ilmuwan Barat dalam memandang fenomena pemikiran keagamaan. Istilah-istilah yang berasal dari fenonema masyarakat Kristen di Barat kemudian dipaksakan masuk ke dalam khazanah keilmuan dalam studi keislaman. Sangatlah tidak mudah menjebol hegemoni penggunaan istilah-istilah Barat dalam pemikiran dan studi Islam yang sudah terlanjur mencengkeram otak para profesor, doktor, dan peneliti di kalangan akademisi Muslim dewasa ini.

Tentu saja kita tidak apriori dengan penggunaan istilah-istilah asing, dari mana pun datangnya, asalkan itu tidak bertentangan dan tidak merusak konsep-konsep dasar dalam Islam. Sebagaimana beberapa kali kita catat, penggunaan istilah-istilah ‘fundamentalis’, ‘radikal’, ‘militan’, dalam tradisi Kristen-Yahudi sangat tidak sesuai jika diaplikasikan untuk Islam. Sama halnya, kita juga tidak bisa secara sembarangan menggunakan istilah-istilah Islam untuk kaum Kristen-Yahudi.

Misalnya, dalam khazanah Islam, seorang Muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah dan beramal shalih, kita sebut termasuk dari Muslimin yang muttaqin dan shalihin. Maka, kita tidak patut menyebut George W. Bush – yang dikenal fanatik terhadap agama Kristen – sebagai seorang Nasrani yang termasuk orang-orang yang shalihin dan muttaqin. Andaikan George W. Bush mati dalam Perang di Iraq, tidak patut kita sebut ia telah ‘mati syahid’.

Karena itulah, setiap ilmuwan Muslim seyogyanya berhati-hati dalam mengambil istilah dari Yahudi, Kristen, Barat, atau dari mana saja. Seorang ilmuwan Muslim harusnya tidak latah dalam menjiplak istilah dari agama atau peradaban lain. Misalnya, karena banyak kaum Kristen dan Yahudi sudah menjadi sekular dan mendukung negara sekular, lalu dengan latah menyatakan, bahwa kaum Muslim juga harus menjadi sekular dan mendukung negara sekular, sebagaimana kaum Kristen dan Yahudi. Pikiran seperti ini terlalu sederhana dan tidak berpikir panjang, bahwa ada banyak perbedaan yang mendasar antara karakteristik agama Islam dengan ajaran Kristen/Yahudi.

Akibat pikiran sederhana itu, maka Islam harus dirombak habis-habisan, disekularkan, diliberalkan. Aqidah Islam harus dibongkar dengan paham Pluralisme Agama. Syariah Islam harus dibubarkan dan diganti dengan hukum-hukum sekular. Dengan konsep negara sekular, maka pemerintah tidak boleh membatasi agama yang diakui. Semua agama harus diperlakukan sama.

Padahal, AS dan negara-negara Barat lain pun juga tidak memperlakukan kaum Islam sama dengan Kristen! Sebagai Muslim, seharusnya kita menghindarkan kelatahan-kelatahan dalam mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen.

Sekularisasi dan liberalisasi sendiri telah merepotkan banyak kaum Kristen, dan kini dijejalkan kepada kaum Muslim, dengan dukungan dana besar-besaran dari negara-negara Barat. Dari hasil penelitian Depag itu kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman paham liberal itu di lingkungan perguruan tinggi dan institusi Islam. Institusi yang diharapkan menjaga dan mengembangkan Islam sudah terasuki paham-paham liberal yang jelas-jelas meruntuhkan bangunan aqidah dan syariah Islam.

Bahkan, dari hasil penelitian di lingkungan UIN Jakarta, diteliti tentang satu organisasi mahasiswa UIN Jakarta (Formaci) yang berpaham liberal yang pernah menolak kewajiban jilbab di UIN, mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah, dan mendukung perkawinan beda agama. Dengan berpegang kepada paham kebebasan berpikir dan atas dasar kemanusiaan, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama. Ditulis dalam laporan penelitian ini:

“Seseorang yang sudah pacaran 5 tahun kemudian mau menikah terhalang oleh perbedaan agama, memberi arti bahwa agama hanyalah sebagai penghalang bagi terlaksananya niat baik dua insan untuk membangun rumah tangga.”

Berbeda dengan organisasi-organisasi Islam lainnya, sistem kepengurusan dalam Formaci dipilih melalui rapat umum anggota yang disebut dengan ‘konsili’ –satu istilah yang biasa digunakan dalam tradisi Katolik dimana para uskup dan tokoh Gereja berkumpul untuk memutuskan masalah-masalah dan doktrin penting dalam Gereja Katolik. Entah mengapa dan dengan tujuan apa istilah itu diambil oleh Formaci, bukannya menggunakan istilah-istilah munas, mukernas, kongres, muktamar, dan sebagainya.

Demikianlah realitas tentang perkembangan liberalisme keagamaan sebagaimana hasil penelitian Litbang Departemen Agama. Penelitian ini telah membuka mata kita lebih jauh tentang fenomena liberalisasi Islam di Indonesia. Semoga umat Islam Indonesia dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini dan menyiapkan diri lebih baik lagi dalam bidang keilmuan untuk mencegah berkembangnya paham yang jelas-jelas merusak agama Islam ini.

Wallahu a’lam.
[Depok, 24 November 2006/www.hidayatullah.com]
Read More...

Pornografi & Liberalisasi

Wartawan senior Indonesia menuduh RUU APP ‘berbau Arab’. Nabi dan Imam Syafi’i juga orang Arab, tapi mengapa kita mau mengikutinya? Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 139

Oleh: Adian Husaini

Menyusul maraknya aksi penolakan terhadap RUU Anti-pornografi (APP), beberapa hari lalu, seorang muslim yang tinggal di Bali menelepon saya, dan memberitahukan kondisi kaum Muslim Bali yang semakin terjepit. Kadangkala, mereka mendapat tuduhan, bahwa RUU APP adalah salah satu bentuk Islamisasi.


Jika RUU itu nantinya disahkan, maka Bali pun akan diislamkan, dan wanitanya dipaksa memakai jilbab. Entah dari mana isu itu ditiupkan di Bali, sehingga sampai muncul ancaman, jika RUU APP diterapkan, maka Bali akan memerdekakan diri dari Indonesia.

Ancaman semacam ini dulu juga nyaring terdengar di kalangan kaum Kristen tertentu, ketika RUU Pendidikan Nasional akan disahkan. Mereka mengancam, Papua dan Maluku akan memisahkan diri, jika RUU Pendidikan Nasional disahkan. Tetapi, ketika RUU itu disahkan menjadi UU, gertakan mereka juga kurang terdengar lagi.

Kaum Muslim Bali dan banyak komponen masyarakat lainnya di sana, jelas sangat mengharapkan lahirnya satu Undang-undang yang bersikap tegas terhadap tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi yang semakin meruyak di belantara tanah air Indonesia. Pada tahun 1945, kaum Muslim juga ditekan untuk mengganti Piagam Jakarta, dengan alasan ancaman separatisme wilayah tertentu.

Pornografi adalah musuh umat manusia beradab, sehingga selama ini selalu ada upaya agar manusia yang masih bertelanjang, diberikan pekaian penutup tubuh mereka. Anehnya, sebagian argumentasi penolakan RUU APP justru berorientasi kepada primitivisme.

Ada yang berpendapat, jika RUU ini diterapkan maka suku-suku tertentu yang selama ini biasa hidup telanjang akan terkena ancaman pidana. Logika kaum liberal ini sebenarnya carut-marut dan paradoks.

Pada satu sisi mereka mengagungkan progresivitas (dari bahasa Latin : progredior, artinya, saya maju ke depan), tetapi pada sisi lain, mereka justru mundur ke belakang, dengan memuja nativitas dan primitivitas.

Sayangnya, suara-suara masyarakat yang sehat, seakan tersekat. Logika mereka tersumbat oleh gegap gempitanya gerakan penolakan RUU APP dimotori oleh LSM-LSM dan public figure tertentu yang berpaham liberal, yang meyakini ‘kebebasan’ sebagai ideology dan agama mereka. Kebebasan, menurut mereka, adalah keimanan, yang tidak boleh diganggu gugat. Karena itu mereka menolak berbagai pembatasan, baik dalam hal agama atau pakaian. Kata mereka, itu wilayah privat, wilayah pribadi yang tidak boleh dicampurtangani oleh negara. Maka mereka pun berteriak: biarkan kami berperilaku dan berpakaian semau kami, ini urusan kami! Bukan urusan kalian! Bukan urusan negara! Negara haram mengatur wilayah privat! Itulah logika dan keimanan kaum liberal, pemuja kebebasan.

Karena RUU APP dianggap melanggar wilayah privat, maka mereka berteriak lantang: tolak RUU APP! Ketika kasus Inul mencuat, seorang tokoh liberal menulis dalam sebuah buku berjudul “Mengebor Kemunafikan”: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.”

Logika kaum liberal yang mendikotomikan antara wilayah privat dan wilayah publik itu sebenarnya logika primitif, yang di negara-negara Barat sendiri sudah kedaluwarsa. Sejak lama manusia sudah paham, bahwa kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan publik.

Karena itulah, di negara-negara Barat yang memuja liberalisme, ada peraturan yang membatasi kebebasan manusia, yang memasuki dan mengatur wilayah privat, baik dalam soal tayangan TV, pakaian, minuman keras, dan sebagainya.

Ada kode etik dalam setiap jenis aktivitas manusia. Tidak bisa atas nama kebebasan, orang berbuat semaunya sendiri. Masalahnya, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, maka peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama.

Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini.

Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki.

Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:

"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS 45:23).

Dalam satu tayangan televisi, seorang pengacara terkenal pembela Anjasmara bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Anjasmara dengan foto bugilnya adalah satu bentuk seni, dan bukan pornografi. Padahal, foto Anjasmara yang dipamerkan untuk umum di Gedung Bank Indonesia itu jelas-jelas mempertontonkan seluruh auratnya, kecuali alat vitalnya.

Apakah si pengacara itu tidak berpikir, jika foto Anjasmara itu diganti oleh foto diri atau foto ayahnya. Apakah itu juga seni? Jika memang masih dianggap satu bentuk seni, mengapa alat vital Anjasmara masih ditutup dengan lingkaran putih? mbok, sekalian agar dianggap lebih indah dan ‘nyeni’ alat vital itu dibuka dan diberi lukisan tertentu?

Dalam tradisi Yunani, yang menjadi akar liberalisme seni di Barat, patung-patung para dewa pun ditampilkan telanjang bulat dengan alat vital terbuka. Kenapa si pengacara itu masih tanggung dalam memuja liberalisme? Apa landasan yang menyatakan alat vital tidak boleh dipertontonkan di muka umum ? Jika alasannya adalah ‘tidak etis’, maka suatu ketika dan di satu tempat tertentu, misalnya di klub-klub nudis, alat vital manusia pun wajib dipertontonkan, karena mengikuti kehendak dan selera umum.

Dalam Islam, nilai etika bersifat permanen dan tidak berubah. Batas aurat wanita dan laki-laki jelas. Mana dan kapan boleh diperlihatkan juga diatur dengan jelas oleh wahyu, baik melalui ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Rasulullah saw. Karena itu, kaum Muslim sebenarnya tidak perlu berdepat panjang tentang batasan aurat manusia, karena pedomannya sangat jelas.

Pornografi dan pornoaksi adalah aktivitas yang terkait erat dengan promosi perzinahan yang secara keras dilarang oleh Al-Quran. Karena itu, seorang dokter yang memeriksa bagian aurat tertentu dari pasien atau mayat manusia, dengan tujuan medis, tidak masuk dalam kategori pornografi atau pornoaksi. Ini tentu berbeda dengan Dewi Soekarno yang secara sengaja mempublikasikan foto-foto bugilnya dalam ‘Madame de Syuga’. Berbeda juga dengan tayangan-tayangan erotis dalam berbagai acara televisi kita sekarang ini.

Paham kebebasan atau liberalisme dalam berbagai bidang, memang sedang gencar-gencarnya dicekokkan kepada masyarakat Indonesia. Kaum Muslim Indonesia kini dapat melihat, bagaimana destruktif dan jahatnya paham ini.

Ketika Lia Eden ditangkap, kaum liberal berteriak memprotes. Ketika Ahmadiyah dinyatakan sebagai paham sesat oleh MUI, maka mereka pun berteriak membela Ahmadiyah. Ketika goyang ngebor Inul dikecam, mereka pun memaki-maki para ulama sebagai sok-moralis, sok penjaga moral dan sebagainya.

Ketika film Buruan Cium Gue (BCG) dikritik dan dikecam, mereka juga membela film itu atas nama kreativitas seni. Sekali lagi, menurut mereka, kebebasan harus dipertahankan. Sekarang, dalam kasus RUU APP, sikap dan posisi kaum liberal pun tampak jelas, di barisan mana mereka berdiri; di barisan al-haq atau al-bathil.

Kita sesungguhnya perlu mengasihani pada cara berpikir kaum liberal ini. Apalagi yang sudah tua dan 'sakit-sakitan', seperti Goenawan Mohammad. Bangga dengan julukannya sebagai budayawan, dia menulis satu artikel di Koran Tempo berjudul ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia’.

Dia menganggap bahwa RUU APP ini akan merupakan bentuk adopsi nilai-nilai dunia Arab, dan jika RUU ini disahkan, maka akan berdampak pada kekeringan kreativitas pada dunia seni dan budaya.

Nama Mohammad yang ditempelkan pada Goenawan itu saja sudah mengadopsi nilai-nilai Arab, karena kata Mohammad bukan berasal dari bahasa Jawa. Al-Quran dan hadits pun dalam bahasa Arab. Bahkan, Nabi Muhammad SAW juga orang Arab. Para sahabat Nabi pun orang Arab.

Imam Syafii juga orang Arab. Apakah karena mereka orang Arab, lalu kita tidak boleh mengikutinya? Kaum Muslim selama ini sudah mafhum, bahwa Islam memang agama yang diturunkan di Arab, tetapi jelas agama ini adalah untuk memberi rahmat kepada seluruh alam.

Ayat-ayat Al-Quran banyak menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk orang Arab. Karena itulah, orang tua Goenawan Mohammad pun bangga memberi anaknya nama ‘Mohammad’, yang jelas-jelas mengadopsi nilai Arab.

Jika konsisten memperjuangkan nilai lokal, nama Goenawan Mohammad harusnya diganti dengan ‘Goenawan Terpuji’. Bahkan, kata ‘Goenawan’ itu pun bukan asli Jawa, melainkan impor dari India.

Masalahnya, bukan Arab atau non-Arab. Tetapi, Islam atau bukan. Benar atau salah. Itulah yang seharusnya menjadi acuan berpikir bagi Goenawan. Setiap Muslim atau yang masih mengaku Muslim, seharusnya memiliki pandangan hidup (worldview) Islam. Tidaklah sepatutnya jika nilai kebenaran Islam diletakkan derajatnya di bawah unsur ‘kreativitas seni’.

Jika kreativitas seni dijadikan sebagai standar nilai, maka akan terjadi kekacauan hidup. Siapa yang menentukan kreativitas seni itu baik atau buruk? Apakah semua kreativitas seni adalah baik? Tentu saja tidak.

Kreativitas seni Madonna yang mempertontonkan ciuman lesbi di atas panggung dengan Britney Spears dan Christina Aguilera, dalam pandangan Islam, jelas sangat tidak baik, dan sangat tidak beradab, alias biadab.

Tetapi, ketika itu, pada 28 Agustus 2003, di panggung terbuka acara penganugerahan MTV Video Music Awards di Radio City Music Hall New York, para penonton malah melakukan standing applause. Para penonton menyambut adegan jorok itu dengan berdiri serentak dan bertepuk tangan cukup panjang.

Sutradara film Guy Ritchie, suami Madonna, malah ikut bertepuk tangan dengan wajah senang. Ia sama sekali tidak keberatan dengan tingkah polah istrinya. Bagi penonton, tindakan Madonna dianggap sebagai kreativitas seni. Entah bagaimana sikap pemuja liberalisme dan kreativitas seni seperti Goenawan Mohammad andaikan dia hadir dalam acara itu.

Kreativitas seni memang penting, tetapi kebenaran nilai-nilai Islam adalah lebih penting lagi. Sudah saatnya, kaum pemuja liberalisme seperti Goenawan Mohammad bertobat dan mengoreksi pikirannya, ngaji lagi yang baik dan benar, sehingga tidak bangga dan takabbur dalam kesesatan pikirannya. Ingatlah, kita semua pasti mati dan akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita kepada Allah SWT. Kekuasaan dan kepopuleran tidak akan bertahan lama. Masih ada waktu untuk bertobat.
Wallahu a’lam.
(Jakarta, 10 Maret 2006/hidadayatullah.com).
Read More...

Aliran Liberalisme

Kamis, 28 Oktober 2010

Para pembaru mencoba mendobrak stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan. Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur'an dan al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur'an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis Islam.

For Islamic liberals, the language of the Qur'an is coordinate with the essence of revelation, but the content and the meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur'an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed by language.

Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemakan makna dalam dari konteks. Secara khusus kita akan mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis.

Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.

POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME

Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal.

Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur'an.

Kedua, kita harus mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian.

Ketiga, kita harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta'aqquli.

Keempat, kita harus melepaskan diri dari masalikul'illah gaya lama dan mengembangkan perumusan 'illat hukum yang baru.

Kelima, kita harus menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN

Rahman dalam Tema Pokok al-Qur'an memperinci metodologi penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. -Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks.
-Kedua, pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an;
-Ketiga, pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya dalam Tafsir Kontekstual al-Qur'an.

KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN

Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks lahir al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima teks-teks itu begitu saja (secara ta'abbudi). Kita harus menggunakan akal (ta'aqquli). Pandangan ini menimbulkan beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah dari teks, "Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai menutupi dada mereka" (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata "menutupkan kerudung" harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan nafsu.

Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.

Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan Bahtsul Masa’il yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.

Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN

Metodologi Rahman -seperti telah disebutkan di atas- bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."

Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu?

Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, para orientalis --lewat "analisis sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.

Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi --pada saut yang sama- "menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja", bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.

Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab wahid).

Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak-- adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh). Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw. meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada semangat al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.

Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan Bahtsul Masa’il yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.

Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN

Metodologi Rahman -seperti telah disebutkan di atas- bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."

Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu?

Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, para orientalis --lewat "analisis sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.

Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi --pada saut yang sama- "menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja", bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.

Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab wahid).

Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak-- adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh). Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw. meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks histories sangat diperlukan untuk memahami al-Qur'an. Setiap orang juga tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting.

Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai Al-Qur'an (“ideal moral" al-Qur'an) atau sebab berlakunya hukum (ratio legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi sosial dari tarikh yang dapat kita akses.

Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman --juga kebanyakan ulama-- pengharaman khamr ini berlangsung secara gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, "... ketika manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan."

Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah Rahman setuju, jika kita menyimpulkan --dari kesimpulannya-- bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas informal tidak haram.

Rahman menunjukkan evolusi "sikap" al-Qur'an terhadap khamr. Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69), tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91). Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman ditegaskan berkali-kali --dari tahrim 'am sampai tahrim khash bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras). Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang terakhir. Menurut Thabathaba'i, "Tidak turun ayat al-Ma'idah, kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia, karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini."

Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi'tsah dapat dilihat pada peristiwa masuk-Islamnya A'sya ibn Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw., di tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy lainnya. "Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina," kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka lagi. Dan seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani dari Mu'adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah minuman khamr.

Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah al-A'raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian --baik yang tampak maupun yang tersembunyi-- dan dosa (al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya kepadamu tentang khmr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada dosa besar (itsm kabir). Al-A'raf termasuk surah yang turun dalam periode Makkiyah awal.

Tentang surah al-Baqarah ayat 219 --yang dianggap Rahman dan kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr-- al-Jashash menjelaskan: "Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya mengharamkan kekejian... dan dosa. (QS. al-A'raf:33). Allah tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat duniawi bagi pelanggarnya." Walhasil, pengharaman khamr diulang-ulang --makin lama makin keras-- karena sahabat masih tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma'idah 90 diakhiri dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut riwayat, Umar menjawabnya, "Kami berhenti. Kami berhenti!"

Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang kurang diperhatikan Rahman).
(H.A) Read More...