Penelitian Depag tentang Liberalisme

Jumat, 29 Oktober 2010

Peneliti Depag mengatakan, di Surabaya tokoh-tokoh keagamaan banyak mendukung pemikiran Islam Liberal.
Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-171

Oleh: Adian Husaini

Pada Senin (20 November 2006), saya mengisi acara ceramah dan diskusi tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Sore hari, acara dikhususkan untuk para ustad dan tokoh masyarakat Gresik dan sekitarnya. Saat itu, hadir lebih dari 200 orang. Malam harinya, acara dilakukan dalam bentuk pengajian umum di lapangan terbuka, yang dihadiri ribuan masyarakat dari daerah Gresik dan Lamongan. Bahkan, banyak jamaah dari jauh yang datang dengan kendaraan truk.


Saya terkejut menyaksikan besarnya minat masyarakat Gresik untuk mendengarkan pemaparan tentang Islam Liberal. Menurut pimpinan pesantren, hal itu disebabkan masalah paham liberal keagamaan – yang lebih populer dengan sebutan ‘Islam Liberal’ – sudah disebarkan sampai ke pelosok-pelosok kampung dan perguruan tinggi Islam. Pesantren pun terkena getahnya, karena ada alumninya yang terkena virus liberal ketika kuliah di perguruan tinggi tertentu.

Disamping itu, pesantren Maskumambang memang pesantren tua yang memiliki tradisi ilmu yang cukup baik dan memiliki ribuan alumni yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Pesantren ini dipimpin oleh seorang kyai cerdas dan kharismatis bernama KH Nadjih Ahjat (71 tahun), yang kini juga duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Disamping mengajar dan berceramah, Kyai Nadjih Ahjat juga seorang penulis buku yang handal dan penerjemah sejumlah kitab berbahasa Arab. Saya sudah mengenal nama Kyai Nadjih sejak duduk di bangku SMAN 2 Bojonegoro, sekitar tahun 1981. Salah satu bukunya yang berjudul ‘Iman Jalan Menuju Hidup Sukses’, merupakan salah satu buku bacaan favorit saya.

Buku ini memberikan dorongan semangat yang tinggi agar seorang muslim dapat meraih prestasi-prestasi besar dalam kehidupan dengan tetap berpegang dasar iman yang kuat.

Kepada ribuan masyarakat muslim itulah, saya membacakan hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang apa itu paham Islam Liberal, yang sebagian telah kita ungkapkan pada catatan yang lalu. Salah satu yang membuat mereka takjub adalah pendapat bahwa umat boleh menyembah Tuhan apa saja, dengan cara apa saja, dan juga pandangan bahwa Al-Quran bukan lagi dianggap wahyu yang suci, tetapi merupakan produk budaya.

Tentulah masyarakat Jawa Timur masih mengingat peristiwa yang menghebohkan yang terjadi di IAIN Surabaya bulan Mei lalu, ketika seorang dosennya menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri, dengan alasan bahwa tulisan itu tidak suci. Si dosen juga berpendapat, bahwa Al-Quran adalah produk budaya dan tulisannya tidak suci. Kepada masyarakat yang hadir saya menjelaskan, bahwa cara pikir liberal itu memang sudah diajarkan di sejumlah perguruan tinggi Islam.

Dan tentu saja, cara pikir seperti itu adalah sesuatu yang sangat keliru. Sesuatu tulisan, karena merupakan simbol dari Yang Maha Suci, maka tulisan itu menjadi suci.

Jangankan tulisan yang menjadi simbol nama Allah, tulisan yang menjadi simbol nama Presiden saja akan berbeda nilainya dengan tulisan yang menjadi simbol nama kecoa atau tikus. Cobalah kaum liberal yang menyatakan tulisan Allah dan Al-Quran tidak suci itu datang kepada Presiden SBY. Di depan Presiden, tulislah namanya pada secarik kertas, kemudian injaklah tulisan itu dengan kaki, dengan mata sedikit membelalak, sebagaimana dilakukan oleh dosen IAIN Surabaya ketika menginjak lafaz Allah. Normalnya, Presiden SBY pasti tersinggung dan marah dengan tindakan yang melecehkan namanya itu. Bagaimana dengan Allah, jika nama-Nya dengan sengaja diinjak oleh manusia? Bukankah sangat wajar jika Allah murka jika nama-Nya saja diinjak oleh makhluk-Nya?! Dalam soal keimanan dan peribadahan, Allah sudah mengutus Rasul-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw, untuk mengenalkan nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan bagaimana cara menyembah-Nya yang benar. Maka, sebagai kaum Muslim, kita tidak melakukan ibadah secara sembarangan, melainkan harus berdasarkan petunjuk dan contoh dari Rasulullah saw. Kita tidak shalat secara sembarangan. Kita takbir, membaca al-Fatihah, ruku’, I’tidal, sujud, salam, dan sebagainya, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh utusan Allah. Para ulama tidak mengarang tata cara ibadah dalam Islam. Mereka hanya merumuskan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Tetapi, anehnya, kaum liberal lalu berteriak, “Boleh menyembah tuhan apa saja, dan boleh menyembah Tuhan dengan cara apa saja. Semua benar. Tidak ada yang salah!.

Tentu saja pendapat kaum liberal yang masih mengaku Islam ini sangat ajaib dalam pandangan Islam. Tetapi, yang memprihatinkan kita, sejumlah peneliti Litbang Departemen Agama, malah memberikan dukungan kepada paham liberal, dan menyudutkan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti paham liberal tersebut. Kaum Muslim yang tidak liberal diberi cap-cap dan julukan-julukan yang melecehkan atau menyudutkan, seperti cap Muslim fundamentalis, muslim konservatif, muslim kerdil, dan sebagainya.

Misalnya, peneliti Depag yang meneliti paham keagamaan liberal di lingkungan UIN Jakarta, menulis:

“Gagasan-gagasan keislaman liberal tentunya sangat berbeda dengan pemahaman keislaman kaum fundamentalis sehingga menimbulkan forum permusuhan antara kalangan fundamentalis dengan liberal ketika duduk satu meja pada forum-forum diskusi yang melibatkan kedua pihak.”

Peneliti yang melakukan penelitian di lingkungan IAIN Surabaya juga menulis kesimpulan:

“Di Surabaya, akademisi dan tokoh-tokoh keagamaan secara substansial banyak mendukung pemikiran Islam Liberal, meskipun menolak istilah liberal pada dirinya. Istilah liberal, sebaiknya tidak usah digunakan dalam pergulatan wacana keagamaan, sehingga tidak ada klaim-klaim yang membingungkan. Konflik pemikiran antara kalangan Muslim “liberal” yang menurut saya adalah Islam “rasional” dengan kalangan muslim “kerdil” yang menurut saya adalah Islam “irrasional” mungkin harus dipahami sebagai konflik pemikiran biasa, karena dengan itu akan lahir dinamika keagamaan yang sehat, yang penting tidak ada konflik fisik.”

Peneliti faham liberal di lingkungan IAIN Sumatera Utara menulis dalam laporannya: “Faham yang seringkali bertentangan dengan faham liberal adalah doktrin konservatif yang secara sederhana menyatakan dukungannya terhadap pemeliharaan status quo.” Cara penamaan dikotomis ini memang bagian dari strategi untuk mengkampanyekan paham liberal dalam Islam. Sama dengan cara George W. Bush dalam memerangi terorisme dengan mengatakan: “either you are with us or with the terrorists”; ikut AS atau ikut teroris; menjadi liberal atau menjadi muslim kerdil, radikal, militan, dan sebagainya.

Penggunaan istilah dikotomis ini seringkali menjebak. Sampai ada peneliti Depag yang tampaknya tidak mendukung paham Islam Liberal pun ikut-ikutan membuat istilah dikotomis dalam laporan penelitiannya. Ia menulis dalam laporan penelitian di Makassar:

“Pemikiran keagamaan yang diungkapkan oleh mereka yang mengaku dirinya berpaham liberal banyak mendapat tanggapan negatif dari kelompok konservatif. Puncaknya dengan dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak paham liberal, agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di Indonesia yang problematis.”

Dari berbagai contoh tersebut kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman pola pikir dikotomis yang dikembangkan para ilmuwan Barat dalam memandang fenomena pemikiran keagamaan. Istilah-istilah yang berasal dari fenonema masyarakat Kristen di Barat kemudian dipaksakan masuk ke dalam khazanah keilmuan dalam studi keislaman. Sangatlah tidak mudah menjebol hegemoni penggunaan istilah-istilah Barat dalam pemikiran dan studi Islam yang sudah terlanjur mencengkeram otak para profesor, doktor, dan peneliti di kalangan akademisi Muslim dewasa ini.

Tentu saja kita tidak apriori dengan penggunaan istilah-istilah asing, dari mana pun datangnya, asalkan itu tidak bertentangan dan tidak merusak konsep-konsep dasar dalam Islam. Sebagaimana beberapa kali kita catat, penggunaan istilah-istilah ‘fundamentalis’, ‘radikal’, ‘militan’, dalam tradisi Kristen-Yahudi sangat tidak sesuai jika diaplikasikan untuk Islam. Sama halnya, kita juga tidak bisa secara sembarangan menggunakan istilah-istilah Islam untuk kaum Kristen-Yahudi.

Misalnya, dalam khazanah Islam, seorang Muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah dan beramal shalih, kita sebut termasuk dari Muslimin yang muttaqin dan shalihin. Maka, kita tidak patut menyebut George W. Bush – yang dikenal fanatik terhadap agama Kristen – sebagai seorang Nasrani yang termasuk orang-orang yang shalihin dan muttaqin. Andaikan George W. Bush mati dalam Perang di Iraq, tidak patut kita sebut ia telah ‘mati syahid’.

Karena itulah, setiap ilmuwan Muslim seyogyanya berhati-hati dalam mengambil istilah dari Yahudi, Kristen, Barat, atau dari mana saja. Seorang ilmuwan Muslim harusnya tidak latah dalam menjiplak istilah dari agama atau peradaban lain. Misalnya, karena banyak kaum Kristen dan Yahudi sudah menjadi sekular dan mendukung negara sekular, lalu dengan latah menyatakan, bahwa kaum Muslim juga harus menjadi sekular dan mendukung negara sekular, sebagaimana kaum Kristen dan Yahudi. Pikiran seperti ini terlalu sederhana dan tidak berpikir panjang, bahwa ada banyak perbedaan yang mendasar antara karakteristik agama Islam dengan ajaran Kristen/Yahudi.

Akibat pikiran sederhana itu, maka Islam harus dirombak habis-habisan, disekularkan, diliberalkan. Aqidah Islam harus dibongkar dengan paham Pluralisme Agama. Syariah Islam harus dibubarkan dan diganti dengan hukum-hukum sekular. Dengan konsep negara sekular, maka pemerintah tidak boleh membatasi agama yang diakui. Semua agama harus diperlakukan sama.

Padahal, AS dan negara-negara Barat lain pun juga tidak memperlakukan kaum Islam sama dengan Kristen! Sebagai Muslim, seharusnya kita menghindarkan kelatahan-kelatahan dalam mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen.

Sekularisasi dan liberalisasi sendiri telah merepotkan banyak kaum Kristen, dan kini dijejalkan kepada kaum Muslim, dengan dukungan dana besar-besaran dari negara-negara Barat. Dari hasil penelitian Depag itu kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman paham liberal itu di lingkungan perguruan tinggi dan institusi Islam. Institusi yang diharapkan menjaga dan mengembangkan Islam sudah terasuki paham-paham liberal yang jelas-jelas meruntuhkan bangunan aqidah dan syariah Islam.

Bahkan, dari hasil penelitian di lingkungan UIN Jakarta, diteliti tentang satu organisasi mahasiswa UIN Jakarta (Formaci) yang berpaham liberal yang pernah menolak kewajiban jilbab di UIN, mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah, dan mendukung perkawinan beda agama. Dengan berpegang kepada paham kebebasan berpikir dan atas dasar kemanusiaan, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama. Ditulis dalam laporan penelitian ini:

“Seseorang yang sudah pacaran 5 tahun kemudian mau menikah terhalang oleh perbedaan agama, memberi arti bahwa agama hanyalah sebagai penghalang bagi terlaksananya niat baik dua insan untuk membangun rumah tangga.”

Berbeda dengan organisasi-organisasi Islam lainnya, sistem kepengurusan dalam Formaci dipilih melalui rapat umum anggota yang disebut dengan ‘konsili’ –satu istilah yang biasa digunakan dalam tradisi Katolik dimana para uskup dan tokoh Gereja berkumpul untuk memutuskan masalah-masalah dan doktrin penting dalam Gereja Katolik. Entah mengapa dan dengan tujuan apa istilah itu diambil oleh Formaci, bukannya menggunakan istilah-istilah munas, mukernas, kongres, muktamar, dan sebagainya.

Demikianlah realitas tentang perkembangan liberalisme keagamaan sebagaimana hasil penelitian Litbang Departemen Agama. Penelitian ini telah membuka mata kita lebih jauh tentang fenomena liberalisasi Islam di Indonesia. Semoga umat Islam Indonesia dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini dan menyiapkan diri lebih baik lagi dalam bidang keilmuan untuk mencegah berkembangnya paham yang jelas-jelas merusak agama Islam ini.

Wallahu a’lam.
[Depok, 24 November 2006/www.hidayatullah.com]

0 komentar: