Para pembaru mencoba mendobrak stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan. Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur'an dan al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur'an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis Islam.
For Islamic liberals, the language of the Qur'an is coordinate with the essence of revelation, but the content and the meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur'an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed by language.
Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemakan makna dalam dari konteks. Secara khusus kita akan mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis.
Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.
POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME
Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal.
Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur'an.
Kedua, kita harus mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian.
Ketiga, kita harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta'aqquli.
Keempat, kita harus melepaskan diri dari masalikul'illah gaya lama dan mengembangkan perumusan 'illat hukum yang baru.
Kelima, kita harus menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.
TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN
Rahman dalam Tema Pokok al-Qur'an memperinci metodologi penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. -Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks.
-Kedua, pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an;
-Ketiga, pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya dalam Tafsir Kontekstual al-Qur'an.
KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN
Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks lahir al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima teks-teks itu begitu saja (secara ta'abbudi). Kita harus menggunakan akal (ta'aqquli). Pandangan ini menimbulkan beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah dari teks, "Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai menutupi dada mereka" (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata "menutupkan kerudung" harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan nafsu.
Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.
Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan Bahtsul Masa’il yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.
Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.
KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN
Metodologi Rahman -seperti telah disebutkan di atas- bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."
Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu?
Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, para orientalis --lewat "analisis sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.
Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi --pada saut yang sama- "menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja", bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.
Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab wahid).
Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak-- adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh). Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw. meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada semangat al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.
Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan Bahtsul Masa’il yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.
Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.
KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN
Metodologi Rahman -seperti telah disebutkan di atas- bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."
Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu?
Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, para orientalis --lewat "analisis sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.
Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi --pada saut yang sama- "menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja", bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.
Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab wahid).
Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak-- adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh). Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw. meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks histories sangat diperlukan untuk memahami al-Qur'an. Setiap orang juga tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting.
Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai Al-Qur'an (“ideal moral" al-Qur'an) atau sebab berlakunya hukum (ratio legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi sosial dari tarikh yang dapat kita akses.
Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman --juga kebanyakan ulama-- pengharaman khamr ini berlangsung secara gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, "... ketika manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan."
Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah Rahman setuju, jika kita menyimpulkan --dari kesimpulannya-- bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas informal tidak haram.
Rahman menunjukkan evolusi "sikap" al-Qur'an terhadap khamr. Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69), tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91). Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman ditegaskan berkali-kali --dari tahrim 'am sampai tahrim khash bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras). Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang terakhir. Menurut Thabathaba'i, "Tidak turun ayat al-Ma'idah, kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia, karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini."
Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi'tsah dapat dilihat pada peristiwa masuk-Islamnya A'sya ibn Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw., di tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy lainnya. "Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina," kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka lagi. Dan seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani dari Mu'adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah minuman khamr.
Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah al-A'raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian --baik yang tampak maupun yang tersembunyi-- dan dosa (al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya kepadamu tentang khmr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada dosa besar (itsm kabir). Al-A'raf termasuk surah yang turun dalam periode Makkiyah awal.
Tentang surah al-Baqarah ayat 219 --yang dianggap Rahman dan kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr-- al-Jashash menjelaskan: "Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya mengharamkan kekejian... dan dosa. (QS. al-A'raf:33). Allah tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat duniawi bagi pelanggarnya." Walhasil, pengharaman khamr diulang-ulang --makin lama makin keras-- karena sahabat masih tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma'idah 90 diakhiri dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut riwayat, Umar menjawabnya, "Kami berhenti. Kami berhenti!"
Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang kurang diperhatikan Rahman).
(H.A)
Aliran Liberalisme
Kamis, 28 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar