Hakekat Islam Liberal

Kamis, 28 Oktober 2010

Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa.
Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam. Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001.
Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com.
Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo dan Gatra, JIL mendapat porsi publikasi besar di koran Jawa Pos dan 40 koran daerah yang tergabung dalam Jawa Pos-Net. Dengan nama rubrik Kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu halaman penuh untuk diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara lain Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Mas’udi.
Kampanye melalui media elektronik mula-mula cuma disuarakan melalui kantor berita radio 68H yang mengudarakan dialog interaktif setiap Kamis sore. Belakangan siaran itu kemudian di-relay oleh tak kurang 15 stasiun radio se-Indonesia yang tergabung dalam jaringan 68H, sehingga dapat disimak oleh para pendengar dari Aceh hingga Manado. Di Jakarta siaran JIL di-relay oleh stasiun radio dangdut Muara FM.
Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat insipirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Chares Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Anti Islam Kaffah
Mengapa JIL begitu gencar menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini, sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide ‘pembaruan Islam’, berupa Islam rasional, dekonstruksi syariah dan sekulerisasi.
Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat. Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis.
Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam ‘konservatif’ yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat.
Karena itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis. Dengan kata lain, Islam liberal adalah tandingan Islam revivalis. Apa beda Islam liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. “Ia menghargai rasionalitas,” kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak diperdebatkan.
Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syariat Islam oleh negara dan menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syariat Islam oleh negara. “Pemikiran revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar,” kata Ulil menyebut lawan tandingnya.
Untuk menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah (total) dan menolak penegakan syariat Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang, penerbitan Al-Quran edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta pluralisme. “Menurut saya, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi. Agama yang ‘kaffah ’ hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami ‘sofistikasi’ kehidupan seperti zaman modern. Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah,” ungkap Ulil dalam rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos. Tapi tentu saja kalangan yang disebut revivalis juga tak akan tinggal diam.
Mereka juga telah menyusun agendanya sendiri, meski mungkin tanpa gembar-gembor kampanye seperti yang dilakukan kalangan JIL. Yang penting bekerja saja. Tinggal dilihat nanti siapa yang lebih ditolong Allah: mereka yang berjuang menegakkan syariat Allah atau mereka yang alergi kepada syariat-Nya.• shw
Dari syariahonline.com :
Nampaknya kelompok sekuler mulai mendapat angin baru seiring dengan gencarnya gerakan mereka dengan isu baru : Islam Liberal. Apakah Islam liberal itu? Apa yang ditawarkannya? Apa kehebatannya? Bila kurang teliti dengan apa yang disenandungkan maka sangat bisa jadi banyak yang terkecoh.
Misalnya, isu tentang iklan Islam warna-warni yang beberapa waktu ramai. Tanggal 4 Agustus yang lalu, iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Komunitas Islam Utan Kayu diprotes oleh Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Gara-gara protes itu, TV yang menayangkan iklan tersebut, langsung menghentikan tayangannya.
Oleh para pendukung Islam warna-warni, tentu saja penghentian tayangan iklan yang memakan biaya besar sebagai upaya mereka melancarkan misi itu tidak bisa diterima. Coba dengar apa kata mereka tentang penghentian tayangan iklan itu,” Pesan yang hendak disampaikannya sangatlah sederhana: bahwa ada banyak golongan dan kelompok dalam Islam; golongan itu, akhir-akhir ini,
kian bertambah-tambah setelah situasi politik menjadi terbuka”.
Masih menurut mereka,” Sikap yang tepat untuk dikembangkan dalam keadaan yang sedemikian itu adalah sikap pluralistis, artinya sikap saling mentolerir dan menghargai golongan-golongan yang ada. Sikap yang menganggap golongan sendiri paling benar, sikap absolutistik, sikap yang menempatkan kelompok sendiri sebagai “wakil kebenaran Tuhan” di muka bumi, adalah sikap-sikap yang sebaiknya dijauhi. Karena sikap-sikap semacam itu akan menimbulkan pertengkaran yang tak ada gunanya”.
Sekilas bila kita dengarkan, nampak seperti perkataan ulama yang penuh dengan hikmah, tapi bila dicermati lebih jauh, pesan sesungguhnya berbunyi : “Karena Islam itu plural dan warna-warni, maka tidak boleh mengoreksi dan berdakwah serta menyeru kepada kebenaran bila ada penyimpangan dalam pelaksanaanya”.
Jadi, kalau ada orang Islam tidak shalat, tidak perlu ditegur, karena Islam menurutnya shalat itu tidak wajib. Dan karena Islam itu plural, kita wajib menghargai pandangannya. Begitu juga kalau ada wanita tidak pakai jilbab, jangan diperintahkan pakai jilbab, karena menurut Islamnya wanita itu, jilbab tidak wajib. Dan lagi-lagi kita wajib menghargai pandangannya. Dan egitu seterusnya sehingga tidak ada lagi dari syariat Islam yang tersisa.
Jadi ini sebenarnya cuma akal-akalan gaya syetan menipu manusia berkedok warna warni dan pluralitas Islam. Dengan bersembunyi dengan kata-kata ‘bijak’ itu mereka sesungguhnya ingin mencopot satu per satu ajaran Islam. Alasannya kita harus menghargai pluralitas. Dalilnya, menurut mereka, bahwa para ulama pun juga berbeda pendapat dan sering berikhtilaf. Nah di sini ketahuan akal busuk pendukung Islam plural itu. Mereka sampai tega membawa-bawa ulama untuk dijadikan tameng mereka.
Padahal bila kita cermati, tolong sebut satu saja dari nama ulama yang sering mereka sebut itu yang mengingkari kewajiban shalat, atau mengingkari kewajiban menutup aurat, atau mengingkari kafirnya Nasrani dan Yahudi, atau mengatakan bahwa iblis itu lebih tinggi iman dan taqwanya.
Tentu saja tidak ada satu pun dari para ulama itu yang berani melakukannya. Jadi para pendukung Islam plural itu terbiasa melakukan tadlis / penipuan dengan menggunakan bermacam dalih bukan dalil. Dengan cara itu, mereka berpikir bisa mengecoh umat dan membahagiakan ‘majikan’ mereka. Persis dengan salah satu motto yang sering didengungkan yaitu ,”menuju islam yang ramah, toleran dan membebaskan”. Kalimat ini tentu saja sangat menyejukkan para Yahudi di Israel dan Amerika, karena menurut Islam Liberal, jihad itu bukan perang, tapi adalah usaha sungguh-sungguh, titik. Intinya, para majikan itu ingin menjinakkan umat Islam melalui tangan para liberalis ini.
Jadi sesungguhnya semua yang mereka tawarkan itu sudah lengkap dan komplit, kecuali satu saja yang kurang : Kebenaran itu sendiri. Para tokoh Islam liberal mengistilah keislaman mereka dengan Islam warna-warni. Istilah ini adalah satu dari sekian juta istilah yang selalu diperkenalkan kepada orang-orang awam. Tapi pelakunya sebenarnya Cuma satu yaitu para orientalis sekular yang anti Islam, namun payung dan wajahnya mirip bunglon. Dengan begitu mangsa yang tidak hati-hati mudah terperangkap.
Sebenarnya usaha-usaha menjauhkan pemahaman Islam dari umatnya adalah proyek international dengan dana hampir tak terbatas. Triknya juga mudah dibaca, yaitu memanfaatkan kealpaan umat Islam, apalagi ditambah seribu acessoris mulai dari gelar, organisasi, serentetan acara di hotel berbintang, hingga kerja sama dengan beragam organisasi luar negeri. Semua bentuk kecaman mereka kepada Islam dan syariat bahkan kepada ulama tidak berdasar. Jadi bila secara serius kita kejar,
semua itu cuma tipuan murahan gaya kaki lima pinggir jalan. Tak ada satu pun pendapat mereka itu yang didukung fakta dan kebenaran ilmiyah. Tidak disini dan tidak juga di barat sana.
Tapi sekali lagi, Islam warna warni, Islam Liberal atau Islam apapun juga namanya, tujuannya cuma satu dan dengan mudah bisa dideteksi, yaitu dari nada-nada yang terdengar fals dan merusak gendang telinga orang normal. Lagunya cuma itu-itu saja, paling-paling mereka bilang,”kita tidak perlu erislam terlalu fanatik, semua agama sama, tidak perlu formalitas agama, agama cuma masalah individu, semua agama baik, tidak perlu penerapan syariat, semua pemeluk agama masuk surga, yahudi dan nasrani itu baik, iblis itu paling tinggi taqwanya, wanita sama derajatnya dengan laki-laki dan perlu dibebaskan dari kungkungan syariat dst dst. . . .”
Nyanyian seperti ini buat orang-orang sakit telinga barangkali terdengar merdu, tapi tidak buat mereka yang mengerti musik dan mengerti irama, tidak ubahnya lenguhan sapi perah. Sama sekali jauh dari merdu. Adalah tugas kita untuk menjelaskan kepada khalayak bahwa nyanyian itu sama sekali tidak enak didengar dan tidak menyejukkan hati. Itu adalah nyanyian iblis yang dikemas dengan literatur bejat karya yahudi barat. Keberadaan mereka di tengah umat Islam juga selalu dipertanyakan.
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, padahal Allah selalu menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir membenci. (Hamba Allah).

0 komentar: