Dipublikasi pada Sunday, 27 May 2007 oleh informatika
Oleh: Moh. Achyat Ahmad
“Saya sudah muak dengan Bahtsul Masa’il yang seringkali diadakan di pesantren. Bagi saya, hal-hal seperti itu tidak dapat menyelesaikan masalah, tapi justru semakin menambah masalah!” Kira-kira demikian, pernyataan dari salah satu peserta workshop yang sempat penulis ikuti di Juanda, beberapa bulan lalu.
Pernyataan seperti itu bisa dibilang aneh, juga bisa dibilang wajar: aneh karena pernyataan tersebut muncul dari salah seorang santri pondok pesantren—yang seharusnya konsis dengan prinsip dan tradisinya, dan ‘wajar’ karena kenyataannya dunia pesantren masa kini tidak bisa sepenuhnya menghindar dari propaganda liberalisme—dan oleh karenanya banyak pula yang tidak bisa memproteksi diri.
Saat ini, wacana liberalisme di pesantren sudah tidak menarik untuk diperbincangkan. Karena virus ini telah merebak sejak lama, utamanya di pesantren yang basic salafnya sudah mulai luntur dan cenderung terbuka pada pemikiran baru, namun tidak diimbangi dengan filter dan selektifitas yang tinggi. Kesemarakan tren pemikiran ini juga ditopang dengan kecenderungan out-put-an pesantren, yang belum begitu matang dalam memahami hakikat dan karakter pemikiran keilmuan Islam, lalu melanjutkan studinya ke luar pesantren dan akhirnya terbawa arus.
Kita akan menyadari sepenuhnya akan kenyataan yang pahit ini, jika melihat realita bahwa International Center for Islam and Pluralism (ICIP), suatu lembaga yang getol mempromosikan ide-ide sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (Sipilis) dengan dukungan dari LSM-LSM asing, ternyata dapat bekerja sama dengan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) dalam menerbitkan majalah Al-Wasathiyyah. Padahal, BKSPPI sebelumnya mendukung fatwa haram MUI terkait Sipilis. Ini adalah nyata, meski kadang membuat orang tak percaya.
Kembali pada Bahtsul Masail (BM), kenapa kelompok liberal begitu muak terhadap BM dan begitu bernafsu untuk melakukan ijtihad? Kita mesti memahami bahwa sebetulnya ada yang membuat mereka tidak sreg dalam BM dan karenanya mereka gelisah. Mereka sadar tengah ada dalam dunia yang diliputi problema dan tantangan yang serba sulit dan kompleks. Dalam bidang apakah kita bisa dianggap lebih unggul dari Barat? Ekonomi, politik, teknologi-informasi, sains dan ilmu pengetahuan, semuanya tertinggal. Sementara BM, memang harus diakui merupakan simbol kemunduran, di mana sebelum ‘berakhirnya’ periode ijtihad (inqirâdhu ‘ashr al-ijtihâd), Fikih Islam begitu ‘inovatif’ dan dinamis. Maka jangan heran jika mereka menganggap gerakan liberalisasi, dengan ijtihad sebagai motor penggeraknya, sebagai ‘langkah maju’.
Yang perlu disesalkan dari gerakan ini adalah, bahwa apa yang mereka anggap sebagai ‘langkah maju’ tersebut kemudian menjelma sebagai bumerang bagi hukum, keilmuan, dan kebudayaan Islam. Ijtihad tanpa ilmu itu akhirnya merusak segalanya, sebab mereka tidak hanya bermain pada tataran ‘fatwa’, tapi juga pada tataran Ushul Fikih, penafsiran al-Qur’an, dan hal-hal fundamental yang lain. Artinya, mereka mendekonstruksi dari akar, sehingga hasil pemikirannya juga destruktif.
Salah satu akar dari petaka pemikiran liberal sebenarnya adalah masalah toleransi. Mereka yang kerjanya ngalor-ngidul bicara soal toleransi, ternyata tidak bisa toleran terhadap Fikih Islam. Seharusnya, sebelum melancarkan kritik dan hujatan (sebagai rigid, jumud, terbelakang dls), mereka bertoleransi dulu dengan mencoba memahami apa dan bagaimana BM itu; kenapa formatnya kok sedemikian; mengapa standar bakunya hanya pada nushuh al-imam, dst. Jika ini dilakukan, maka hujatan-hujatan tak bermoral, langkah ijtihad prematur yang ngawur, dan hal-hal negatif-destruktif yang lain, barangkali tidak perlu terjadi.
Jadi, kritik kelompok liberalis terhadap tradisi BM yang mereka anggap hanya bertaklid pada ulama sebelumnya, memang dibangun di atas pra-asumsi yang keliru, karena tidak adanya pemahaman yang lengkap tentang prosedur nalar hukum Fikih dalam BM. Bahwa konsep ihtiyâth sebagai langkah preventif, menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan suatu hukum. Sampai di sini saja, kita sudah dapat membaca keteledoran kelompok liberal. Pemikiran mereka ternyata tidak dilandasi ihtiyâth, sehingga sangat mungkin salah dan seringkali merusak. Bagaimana tidak? Nyatanya mereka sudah berani berinovasi dengan berijtihad.
Kehati-hatian seperti itu tidak hanya berlaku dalam berijtihad, tapi dalam setiap langkah penetapan hukum, baik itu ijtihad, tandzîr atau ilhâq, termasuk dalam BM. Para pakar Fikih menyatakan, bahwa menyamakan (ilhâq) antara satu masalah fiqhiyah yang belum ada keterangannya, dengan masalah-masalah yang sudah diterangkan oleh ulama dengan melihat titik-titik persamaannya, akan lebih baik daripada membuat kaidah baru khusus untuknya. Hal demikian demi menghindari kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kaidah.
Hukum Islam adalah ketetapan Syâri’ yang suci. Mengutip Taqiyuddin as-Subki, hukum Islam telah sempurna pada masa Nabi r, sesuai dengan al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 4. Sementara ungkapan ‘Izzuddin bin Abdissalam yang menyatakan bahwa Allah I mempunyai hukum baru karena timbulnya sebab baru, bermakna sebagai penerapan pelaksanaan hukum akibat timbulnya sebab baru yang melatarbelakanginya. Jadi, sebelumnya sudah ada hukum asal, namun penerapannya baru dilakukan kemudian, setelah adanya sebab-sebab yang mendorongnya.
Di sinilah kesalahan kelompok liberal, yang kerap kali memahami kaidah taghayyur al-`ahkâm bi taghayyur al-`azmân secara keliru. Mereka menggeneralisir kaidah itu pada domain yang tak terbatas. Padahal, sesuai kesepakatan ulama, hukum-hukum yang bisa berubah hanyalah hukum-hukum ijtihâdiyah, bukan qath’iyah, yang didasarkan pada nilai-nilai kemaslahatan, qiyâs, atau adat yang tidak kontras dengan syariat, itu pun hanya bisa dilakukan oleh pakarnya.
Alhasil, konsep taklid dalam kelimuan Islam (Fikih) adalah langkah preventif yang dilakukan, agar kita tidak terperosok pada kesalahan akibat ketidakprofesionalan dan keteledoran. Di samping itu, kita bertaklid karena yakin akan kebenaran, otentitas, dan orsinalitas nash, serta keabsahan konsep yang dibangun para pendahulu. Lalu apa yang bisa dibanggakan kelompok liberal yang begitu muak dengan konsep ini, padahal pemikiran mereka (liberalisme) hanya merupakan copy-paste (baca: taklid) dari liberalisme yang muncul dari embrio keilmuan Barat, sebagai dampak dari pengekangan Gereja terhadap kran pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jika mereka bilang membebek itu jelek, lalu siapa sebetulnya yang lebih naif dan lebih jelek daripada bebek?
Kelompok seperti inilah yang oleh Dr Syamsuddin Arif (peneliti INSITS yang sedang menyelesaikan program post-doktornya di Orientalisches Seminar, Frankfurt, Jerman) digambarkan seperti istri Aladin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir. “Orang kita,” masih dalam ungkapan Syamsuddin, “memang suka barang impor, suka latah dan ikut-ikutan. Seringkali tanpa mengerti maksud dan latarbelakangnya. Orang Barat sekuler, ikut sekuler. Mereka liberal, ikut liberal. Mereka kritik Bibel, kita kritik Qur’an. Nanti, mereka hancur, kita pun ikut hancur.” Na’ûdzu billâh. []
Bahtsul Masail dan Kegelisahan Kelompok Liberal
Kamis, 28 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar