Bahaya Wahabisasi

Jumat, 29 Oktober 2010

Alih-alih mengalihkan perhatian orang karena produk sekularismenya tak laku di pasaran, kalangan liberal mengeluarkan idiom dan stigma baru bernama 'bahaya wahabisasi'
Oleh: Ainul Yaqin *)

Wacana liberalisme Islam yang diperkenalkan ke lingkungan NU telah direspon sangat baik oleh sebagian besar generasi mudanya. Namun, di kalangan generasi tua NU liberalisme Islam telah dianggap sebagai penyimpangan yang harus diluruskan. Bahkan pada muktamar NU di Boyolali yang lalu, sempat muncul usulan agar kepengurusan NU bersama organisasi-organisasi di bawahnya dibebaskan dari pengaruh orang-orang yang berhaluan liberal.

Walaupun penolakan ini pada praktiknya tidak efektif untuk mencegah masuknya orang-orang liberal ke dalam kepengurusan NU dan organisasi dibawahnya -karena kaum tua belum membuat definisi yang belum jelas tentang liberalisme- tetapi hal ini telah cukup dirasakan sebagai ancaman bagi masa depan gerakan liberalisme di tubuh NU.
Menyadari kenyataan tersebut, tak pelak lagi para aktivis liberal merasa perlu membuat strategi baru yang lebih diterima. Gus Dur --yang selama ini menjadi bemper-- bagi masuknya arus liberalisasi di NU mengkritik pernah Ulil (dalam hal ini dianggal icon gerakan liberalisme di tubuh NU) sebagai orang yang telah terjebak dalam label yang dibuat sendiri (www.gusdur.net).
Gus Dur ini secara implisit memberikan catatan, bahwa untuk menawarkan ide liberalisme di lingkungan NU, harusnya tak perlu menggunakan cara gembor-gembor karena cara-cara seperti ini malah bisa jadi bumerang.

Stigma Wahabi
Entah karena kritik Gus Dur, atau karena tidak punya tempat di hati banyak umat Islam --khususnya di kalangan NU-- namun yang jelas, pasca penolakan banyak pihak terhadap ide-ide liberalisme itu kini, para pengusung paham liberal boleh dikatakan sedang "berganti haluan". Alih-alih bersembunyi atau mengalihkan perhatian, mereka kini melakukan teknik baru dengan cara melakukan stigmatisasi.
Akhir-akhir ini beberapa aktivis liberal menggulirkan isu wahabisasi. Isu wahabisasi ini untuk menunjuk kepada setiap upaya yang dilakukan oleh kelompok Islam apa saja yang mempunyai faham berseberangan dengan dirinya (pengusung liberalisme). Bahkan dalam kasus kontroversi RUU APP pun kelompok liberalisme tak segan-segan 'menuduh' yang pro terhadap RUU APP sebagai wahabian.
Adalah Abdul Moqsith Ghazali misalnya, di dalam tulisannya di www.wahidinstitute.org mengatakan ,bahwa gerakan untuk mewahabikan umat Islam di Indonesia sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi bahkan tidak hanya dilakukan di kota-kota besar, tetapi juga telah masuk ke desa-desa.
Menurut si penuduh, gerakan wahabisme sudah menjangkiti banyak pihak di Indonesia, termasuk NU. Moqsith juga menyebutkan banyak tokoh Wahabi Timur Tengah yang pikirannya mempunyai pengaruh kuat terhadap aktivis Islam di Indonesia, yang salah satunya adalah Abdul Qadir Zallum (harusnya yang benar Abdul Qadim Zallum pendiri Hizbut Tahrir di Yordania ).
Tuduhan lain juga datang dari M. Mas'ud Adnan, wakil ketua Balitbang PW NU Jatim (Jawa Pos; 28/03/06) yang menengarahi bahwa beberapa kiai-kiai di NU pun telah terpengaruh gerakan wahabi. Hal ini didasarkan atas indikasi adanya beberapa kiai NU yang mempunyai latar belakang studi di Saudi Arabia tetapi tidak melalui studi akademik sampai S2 atau S3 sehingga sedikit banyak terpengaruh pada faham Wahabi.
Selain menggulirkan isu wahabisasi, dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan upaya pembelokan makna terhadap idiom kembali ke khitthah 26.
Idiom ini pada dasarnya mempunyai makna mengembalikan NU pada arah perjuangan semula yaitu menjadi jam'iyah yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan dan keagaamaan serta melepaskan NU dari keterlibatannya dalam politik praktis.
Idiom ini dibelokkan pengertiannya menjadi mengembalikan NU pada dakwah kultural dimana istilah ini telah dipertentangkan dengan istilah dakwah struktural, dengan suatu pengertian bahwa dakwah struktural adalah upaya formalisasi agama (syari'at), maka sebaliknya dakwah kultural berarti menolak formalisasi.
Pembelokan serupa dilakukan pula terhadap konsep tawassuth, tasammuh, dan tawazzun. Ke tiga istilah tersebut sebenarnya merupakan istilah untuk mensifati teologi ahli sunnah atau Asyariyah yang dianut oleh NU yang merupakan konsep teologi tengah-tengan antara rasionalisme qodariyah dan antropomorfisme jabariyah.
Namun para aktivis liberal ini telah menggeser (bisa disebut juga memelintir) maknanya sebagai konsep yang menolak ekstrimitas atau dengan kata lain berpihak pada penolakan terhadap formalisasi agama, karena formalisasi agama adalah sikap yang ekstrim ke kanan.
Tafsiran seperti di atas antara lain terlihat dari tulisan Mas'ud Adnan mengomentari dukungan PB NU terhadap RUU APP (Jawa Pos: 28/03/06).
Menurutnya NU yang berwatak tawassuth, tasammuh, dan tawazzun lebih pas memilih solusi partikelir dari pada menjadi stempel kelompok Islam formalis. Serupa dengan itu Gus Dur juga secara tegas mengatakan bahwa KH Hasyim Asy'ari adalah orang yang tidak setuju dengan formalisasi agama.(Jawa Pos: 7/04/06 )

Pemecah Ukhuwah

Isu wahabisasi patut diduga sebagai akal-akalan kaum liberal yang dimaksudkan untuk menyekat warga NU dari kelompok-kelompok yang menolak ide liberal. Dengan isu ini harapannya warga NU menjadi curiga dan waspada terhadap kelompok-kelompok yang menolak ide liberal dan sebaliknya menjadi tidak kritis terhadap ide-ide kelompok liberal sendiri, sehingga dalam kesempatan ini tanpa disadari ide-ide liberalisme dapat diterima. Isu wahabisasi dipilih karena NU pernah mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap gerakan Wahabi. Bahkan latar belakang berdirinya NU yang merupakan kelanjutan dari Komite Hijaz adalah untuk menangkal terhadap arus wahabisasi.
Namun tuduhan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan aktivis liberal sebagai Wahabian terlalu digeneralisasi. Memang diakui bahwa kelompok Wahabi seperti Salafi merupakan kelompok yang berseberangan dengan kelompok liberal, tetapi tidak semua yang berseberangan liberalis adalah wahabi.
Syeikh Abdul Qodim Zallum misalnya, jelas bukan Wahabi. Abdul Qodim Zallum merupakan tokoh yang banyak mengkritisi Wahabi. Dalam bukunya Kaifa Hudimat al-Khilafah, Syeikh Zallum mengkritik keras peran gerakan Wahabi yang terlibat dalam konspirasi meruntuhkan kekhilafahan Usmaniah di Turki.
Dus, tidak pula bisa digeneralisasikan seolah-olah setiap mahasiswa NU yang nyantri di Saudi terpengaruh Wahabi. Banyak kiai NU yang kritis terhadap kelompok liberal mempunyai latar belakang studi di Saudi Arabia, tetapi mereka tidak belajar pada ulama Wahabi. Di antara mereka banyak yang belajar pada (alm) Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki.
Sebut misalnyal; Luthfi Basori misalnya, seorang kiyai muda NU yang kritis terhadap liberal adalah murid beliau. Demikian pula tokoh FPI, Abdurrahman Assegaf, anggota Dewan Imamah Nusantara (DIN) seperti Habib Thohir Al-Kaff dan K.H. Najih Maimun juga murid beliau.
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki adalah seorang ulama Saudi yang banyak berseberangan dengan orang-orang Wahabi. Bahkan beliau pernah divonis sebagai ulama sesat oleh tokoh-tokoh wahabi seperti Syeikh Abdullah bin Baz maupun Syeikh Sulaiman bin Mani' dan atas rekomendasi ulama wahabi pula dicekal tidak boleh mengajar di Masjid al-Haram oleh pemerintah Saudi.
Pencekalan itu akhirnya dicabut sebelum beliau wafat karena kepiawaiannya memenangkan perdebatan dengan tokoh-tokoh wahabi. Ada misi utama yang dibawa oleh para aktivis liberal dengan strateginya, yaitu mensosialisaikan faham sekularisme. Dalam berbagai kesempatan para aktivis liberal senantiasa menyampaikan misi ini. Penolakannya terhadap RUU APP pun dilakukan karena misi ini.
Kaum liberal memandang bahwa RUU APP terlampau jauh mengatur masalah moralitas yang dalam pandangannya yang sekuler, hal tersebut merupakan wilayah privat. Dikotomi privat dan publik inilah merupakan ciri dari faham sekularisme. Berbagai upaya yang dilakukan mulai dari pengguliran isu wahabisasi, pembelokan idiom-idiom NU dapat dibaca sebagai strategi sekularisasi khususnya yang dilakukan terhadap NU.
Patut disadari oleh para nahdliyin bahwa NU sejak kelahirannya tidak berfaham sekuler dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan, NU memandang formalisasi syari'at menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti maa laa yudraku kulluh la yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua) dan kaidah dar'ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih (mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam. Dalam kerangka ini NU pernah mengukuhkan pemerintah Soekarno sebagai waliyy al-amri al-dlorui bi al-syaukah.
Adanya pengukuhan ini merupakan kebutuhan syar'i yang terkait dengan masalah perwalian pernikahan khususnya wali hakim, di mana hanya sah apabila diangkat oleh pemerintah yang sah pula secara syari'at. Dalam kasus ini pemerintah Soekarno untuk sementara masih dapat ditolelir sebagai pemerintah yang sah secara syari'at. Namun, karena sifatnya yang belum kaffah maka dikatakan al-dloruri.
Penggunaan kata al-dloruri (sementara) yang disifatkan pada kata walyy al-amri menunjukkan adanya pengakuan bahwa proses perjuangan menuju formaliasai syari'at belum selesai. Maka upaya menuju ke arah yang lebih sempurna masih terus dilakukan. Hal ini dapat dicermati dari sepak terjang NU pada masa-masa berikutnya seperti perjuangan NU dipimpin KH Bisri Samsuri melalui fraksi PPP menggolkan UU Perkawinan serta menolak penetapan aliran kepercayaan sebagai agama.
Karenanya, kita patut wasapada dengan cara pengalihan perhatian dengan pelabelan wahabisasi yang dilakukan kalangan liberal. Di tengah hubungan NU dengan gerakan-gerakan Islam lain yang sudah makin baik selama sepuluh tahun terakhir ini, stigmatisai dan pelabelan istilah itu boleh jadi pemecah ukhuwah antara kaum nahdhiyyin dengan kelompok Islam lain.
*) Warga NU, Aktivis

0 komentar: