Bismillah...
Bisa dikatakan, pada dasarnya, istilah “Islam progresif”, “Islam Liberal”, “Islam sekuler”, “Islam reduksionis”, “Islam akomodatif”, dan sejenisnya sebenarnya merujuk pada “makhluk yang sama”, yaitu tentang “Islam yang tunduk atau tersubordinasikan kepada barat”. Adalah menarik. Dalam tulisannya di harian Republika (17-18 Juli 2001), yang berjudul “Islam Liberal dan Masa Depannya”, Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa ekspresi pemikiran liberal dalam politik adalah menolak formula klasik, dengan contoh ekstremnya antara lain terlihat pada Ali Abdur Roziq dan Kemal Attaturk.
Komaruddin menulis, “Namun, kendati sangat apresiatif terhadap peradaban barat, mereka tetap berpandangan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi tetap harus berpijak pada nilai-nilai Islami .Dengan kata lain, pemikiran liberal menekankan pada substansi kemanusiaan dan universalisme Islam, yang itu nantinya akan bergesekan dengan warisan pemikiran ortodoks yang sangat teguh pada komitmen terhadap simbol-simbol agama dan bercorak skripturalis. Di Indonesia, Soekarno dan Muhammad Hatta adalah contoh yang tidak bisa diabaikan. Karena itu Indonesia, meskipun mayoritas penduduknya muslim, tidak menjadikan Islam sebagai dasar Negara.”
Dimasukkannya Kemal Attaturk dan Soekarno ke dalam barisan Islam Liberal semakin memperjelas sosok Islam Liberal, bahwa gerakan ini memang merupakan gerakan sekularisasi, yang merupakan rangkaian gerakan oleh Ali abd Raziq, Kemal Attaturk, Soekarno, Nurkholis Madjid, dan Ulil Abshor Abdalla. Tentu dengan segala variannya masing-masing .
Untuk memperjelas, bisa disimak tindakan Kemal Attaturk di Turki saat ia berkuasa. Turki secara tegas menyebut dirinya sebagai Negara sekuler . UUD Turki pasal 1 menegaskan, Turki adalah Negara (1) Republik, (2) Nasionalis, (3) Kerakyatan, (4) Kenegaraan, (5) Sekularis, (6) Revolusioneris. Karena itulah, hal-hal yang dianggap membahayakan prinsip sekuler akan diserang.
Islam yang dipeluk oleh 99% rakyat Turki diaggap sebagai suatu ancaman paling potensial yang dapat menghancurkan prinsip sekuler tersebut. Apalagi, kenyataan menunjukkan bahwa Islam ternyata tidak pernah mati di Turki, meskipun segala macam cara telah dilakukan untuk “mensekulerkan” rakyat Turki. Bahasa Arab diganti bahasa Turki, lembaga pendidikan agama ditutup, wanita dan pria dipaksa berpakaian ala barat, huruf arab diganti huruf latin , kalender Islam diganti dengan kalender masehi, dan sebagainya. Pada Desember 1995, partai Refa yang “berhaluan” Islam menang dalam pemilu, dengan meraih 21% suara.
Proses sekularisasi Turki secara resmi dimulai dengan proklamasi Negara republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Mustofa Kemal terpilih sebagai presiden pertama, ia lalu mengganti nama menjadi Kemal Attaturk (Bapak bangsa Turki). Attaturjk ingin menjadikan Negara Turki modern yang berdasarkan kebudayaan barat. Setelah berkuasa, ia melakukan reformasi agama. Sejak awal, meskipun dilakukan dengan paksa, tidak semua keinginan berhasil. Upaya untuk mengganti bacaan sholat dengan bahasa Turki gagal diwujudkan. Hanya adzan untuk pertama kalinya secara resmi dikumandangkan dalam bahasa Turki pada bulan Januari 1932. Fakultas teologi ditutup dan diganti dengan institut riset Islam pada tahun itu juga. Tahun 1935, libur mingguan hari Jumat diganti dengan libur mingguan mulai pukul 01.00 hari Sabtu sampai hari Senin pagi. Menurut prof. Mukti Ali, rencana untuk mensekulerkan Turki sejak awal memang tidak sukses .
Para pemimpin sekuler Turki modern selalu menerangkan bahwa reformasi yang mereka lakukan tidaklah ditujukan untuk melawan Islam, tetapi hanya ingin mengakhiri kekuasaan para ulama’. Menempatkan Islam subordinasi terhadap Negara juga menunjukkan kepercayaan yang mendalam dari orang-orang sekularis bahwa Islam bertanggung jawab terhadap kemunduran dan keterbelakangan bangsa Turki .
Jika reformasi agama tahun 1928 itu berhasil, maka akan lahirlah versi modern dari Islam yang didasarkan pada nasionalisme, filsafat, dan sains.ia akan merupakan Islam lain diluar batas-batas Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Para reformis Turki menolak ciri universal Islam. Kesultanan atau kekhilafahan yang universal diganti dengan Negara nasionalis Turki .
Pada mulanya, mereka juga bermaksud mengubah masjid menjadi gereja Islam modern, tetapi ternyata mustahil dilaksanakan, sebagaimana halya usaha untuk menjadikan bahasa Turki sebagai bacaan sholat. Masyarakat menentang keras upaya tersebut. Yang kemudian berhasil adalah perubahan Aya Sofya (Hagia Sophia), gereja Byzantium,menjadi museum. Gereja ini telah dijadikan masjid oleh Sultan Muhammad II . “Sukses” sekularisasi lainnya adalah penggunaan bahasa Turki untuk adzan tahun 1932. Adzan versi Turki ini disiapkan oleh himpunan linguistic dan disiarkan oleh kantor kepresidenan urusan agama. Melodi adzan versi Turki disetujui oleh konserfatori musik nasional, Ankara.Tahun 1933, keluar keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa adzan dalam bahasa arab merupakan pelanggaran,
Gagasan sekularisme Attaturk dalam bidang kenegaraan pada dasarnya berupa pemisahan agama dari Negara. Menurut Attaturk, apabila agama dipergunakan untuk memerintah masyarakat, ia senantiasa dipergunakan sebagai alat dalam tangan raja diktator untuk menghukum pemisahan agama dengan Negara akan menyelamatkan bangsa dari malapetaka .
Pemisahan agama dari Negara dimulai tahun 1928 dengan menghapus artikel–artikel dari konstitusi Turki yang menyebutkan bahwa agama Negara adalah Islam. Sebelumnya , tahun 1924, biro Syaikh Al-Islam dihapuskan. Begitu juga kementrian syariat dan mahkamah syariat. Proses ini dimaksudkan untuk menggusur otoritas syariat dan meletakkan kedaulatan rakyat secra mutlaq. Negara tidak ada lagi hubungannya dengan agama. Sembilan tahun kemudian, 1937,prinsip sekularisme dimasukkan kedalam konstitusi Turki, sehingga resmilah Turki menjadi Negara republic sekuler ‘
Dalam soal perkawinan, hukum perkawinan tidak lagi dilakukan sesuai dengan syariat Islam, tetapi dilakukan sesuaio hukum sipil yang diadopsi dari swiss (Swiss Civil Code). Wanita mendapat hak cerai sama dengan laki-laki. Poligami dilarang. Secara hukum, wanita muslimah mendapat hak untukmenikah dengan pria non muslim. Hak untuk pindah agama juga dijamin undang-undang. Menurut James A.Bill dan Carl Laiden, bentuk serangan Attaturk terhadap agama yang penting adalah politil nasionalis – revolusioner yang diterapkannya melalui semboyan “ Turki adalah bangsa Turki” . Mereka mencatat, “As important Attatruk’s direct attack on Religion was his political nationalist revolution of Turkey for the Turks”.
Tahun 1924 dikeluarkan UU penyatuari pendiikan yang mewajibkan seluruh sekolah berada di bawah pengawasan kementrian pendidikan. Madrasah-madrasah ditutup dan diganti dengan sekolah yang membina imam dn kitab. Selanjutnya,pendidikan ditiadakan di sakolah-sekolah perkotaan padatahun 1930 daaaan di sekolah-sekolah pedesaan pada tahun 1933. Pelajaraan Arab dan Persia di hapus pada tahun 1923. Pada tahun ini juga tulisan Arab diganti dengan tulisan latin.
Di bidang budaya, proses sekuralisasi-juga westernisasi-di lakukan antara lain dengan pelarangan penggunaan topi adat turki,Terbus, tahun 1925. Sebagai gantinya dianjurkan pemakaian topi Baraat. Pakaian kkkkeagamaan juga di larang dan rakyat turki, baik pria maupun wanita,diharuskan mmenggenakan pakaian barat.
Menurut harun nasution, gagasan attaturk berdasar pada westernisme, sekuralisme, dan nasionalisme. Dalam salah satu pidatonya, attaturk mengatakan kelanjutan hidup di dunia peradaban modern menghendaki dari suatu masyarakat supaya mengadakan perubahan dalam diri sendiri. Di zaman yang dalamnya ilmu pengetahuan membawa perubahan terus menerus, bangsa yang bertegang teguh pada pemikiran dan tradisi tua lai usang, tidak akan dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat turki harus diubah menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksi oner harus di hancurkan.
Attaturk menjalankan menjalankan pemerintahan secara dictator. Ia tak segan segan menghukum mati orang-orang yang enggan kepada pemerintahan Kemalis. Pada tanggal 13 Juli 1926, 15 orang di gantung di muka umum. Tahun 1930, 800 orang anti Kemalis. Tahun 1931 keluar peraturan yang melarang media masa mengeluarkan propaganda yang dianggap membahayakan pemerintahan Kemais.
Soekarno memang dikenal sebagai pengagum berat Kema Attaturk. Apa yang dilakukan Attaturk meskipun menindas Islam, dipuji-puji oleh Soekarno. Dalam majalah Pandji Islam –pimpinan tokoh Masyumi Zainal Abidin Ahmad- nomor 13 dalam 13 tahun 1940, bung karno menulis sebuah artikel berjudul “memudakan Islam’’. Dalam tulisannnya Bung karno memuji langkah-langkah sekuralisasi yang dijalankan Attsturk di turki.
Bung karno menyebut langkah pemisahan agama dari ngara Attaturk sebagai langkah ”paling modern” dan “paling radikal”. Kata Bung karno, “agama di jadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu di hapuskan oleh orang turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia turki iu sendiri, dan tidak kepada Negara. Karena itu, salahkah kita kalau kita mmengatakan bahwa turki anti agama, anti-Islam. Salahkah kita kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya,Rusia”
Mengutip frances WoodsmalL, Bun karno mencatat, “The attitude of modern turkey towords Islam has been anti- ortodoks,or anti-ecclestiacial,rather than ati-religious…The validity of Islam as a personal belief has not been denied. There has been no cessation of the services in the mosque, or rather religious observance.” (Turki modern adalah anti kekolotan,antiekliestikal (model kekuasaan gereja / ulama’) ,teyapi tidak anti agama. Islam sbagai kepercayaan individual tidaaaaaaak di tolak. Sembahyang di masjid tidak di larang, malahaan ketaaan pada agama pun tidak di larang).
Menurut sukarno, apa yang dilakukan turki sama apa yang dilakukan Negara-negara Barat. Di Negara-negara seperti inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan lain-ain, urusan agama di serahkan pada individu pemeluknya. Agama menjadi urusan pribadi, dan tidak di jadikan sebagai urusan Negara, tidak di jadikan sebagai agma resmi Negara. Untuk memperkuat pendapatnya, Soekarno mengutip pendapat Halide Edib Haanoum dalam bukunya Turkey faces West, “kalau Islam teracam bahaya kehilangan pengaruhnya di atas rakyat turki, maka itu bukan karena tidak diurus oleh pemerintah…Umat Islam terikat kaki tanganya dengan rantai kepada politiknya pemerintah itu. Hal ini adalah suatu halangan yang besar sekai buat kesuburan dslam di turki… Dan bukan saja di turki, tetapi dimana saja, dimana pemeritah campur tangan didalam urusan agama, disitu ia menjadi suatu halangan besar dapat dienyahkan.
“Karena itu, menurut pemimpn-pemimpin turki, justru buat kesuburan Islam itu, maka Islam di merdekakan dari pemeliharaan pemerintah. Justru buat kesuburan Islam, maka kholifah di hapuskan, lantor komesariat syariat di tutup. Kode (undang-undang) Swiss sama sekali diambil oper buat pengganti hukum famili yang tua. Bahasa Arab dan huruf Arab yang tidak dimengerti oleh kebanyakan rakyat turki diganti dengan bahasa turki dan huruf latin. Seluruh pergaulan hidup, terutama kedudukan perempuan, dipermodern oleh Negara, oleh Negara tidak menanya lagi, “Diperbolehkan atau tidak, aturan ni oleh syari’at?” Umat, yang tidak lagi takut-takut bertabrakan dengan Negara ditentang urusan Agama-oleh karena negara memang tidak campur tangan lagi di dalam urusan agama-lamtas mempermodern pula agama itu. Adzan kini ia dengungkan dengan bahasa Turki. Qur’an sama sekali diturkikan, sebagai mana Bijbel dibelandakan atau di inggriskan, kedudukan perempuan dimerdekakan juga dari ikatan-ikatan kekolotan.” Kata Soekarno, memuji langkah-langkah sekuralisme Turki.
Menggutip pendapat Muhammad Essey Bey, Mentri kehakiman Turki saat pengoperan Civiele Code swiss, Soekarno menyebutkan, “Manakala Agama dibuat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu di pakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang orang Zalim, dan orang-orang tangan besi. Manakala zaman modern memishkan dunia dari banyak kebencanaan, dan ia memberikan kepada agama itu satu singgasana yang maha kuat di dalam kalbu kaum yang percaya”.
Jadi, simpul Soekarno, buat keselamatan dunia dan buat kesuburan Agama-bukan untuk mematikan agama itu-urusan dunia diberikan kepada pemerintah dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama. “Greef den keizer wat des keizers is, en god wat Godes is,” Kata Soekarno mengutip Bijbel.
Siapa Kemal Attaturk? Tokoh sekuler ekstrem ini dilahirkan Tahun 1881 di daerah Solanika, Ali riza bekerja sebagai pegawai kantor di kota itu, dan ibunya Zubaidah, seorang yang taat bragama dan selalu memakai purdah. Maryam Jameela, dalam bukunya “Islam dan modernidasi mencatat bahwa Ali Riza adalah seoraang pecandu alkohol. Sebagaian penulis Barat menyebutkan, kemal adalah anggota Free masonry, organisasi rahasia yahudi yang di dirikan di London, 1717. Dalm buku Wajah dunia Islam, Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakkil, (1998;314), menyebutkan bahwa Kemal juga merupakan tokoh organisasi “Persatuan dan kemajuan ” yang mayoritasnya anggotanya adalah orang-orang yahudi. Orang -orang Turki menamakan orang-orang yahudi dengan sebutan “Dunamah”, yang beratti kafir atau ateis.
Dalam bukunya, Islam versus The West, (1994:32), Maryam Jameeela mencatat perbedaan antara dua tokoh sekuralis Yurki, yaitu Ziya Gokalp dan Attaturk. Ziya Gokalp, menuntut Jameela, selalu tampil sebagai muslim yang baik. Sedangkan, Attaturk tidak menyembunyikan dirinya sbagai seorang ateis.” In contrast to Kemal Attaturk who made no secrect of theism atheisme, Ziya gokalpalways regarded himself as a good Moslem,” tulis maryam Jameela, seorang keturunan yahudi Amerika yang sebelum masuk Islam bernama Margaret Marcus. Attaturk meninggal pada 10 November 1938 pada usia 57 tahun. Jenazahnya di simpan di museum Etnografi Ankara hingga tahun 1953, lalu disimpan ke Mosulimnya.
Hingga kini, warisan sekuralisme Attaturk masih dikeramatkan di turki. Menggenakan jilbab di kantor pemerintah dan parlemen masih tetap di larang. Inilah buah sekuralisme atau libealisme Islam yang kini dibangga-banggakan o;leh kaum liberal. Jika Kemal Attaturk yang menindas Islam di katakan sebagai “liberal” maka sulit untuk tidak menyatakan bahwa “Islam liberal” memang ancaman bagi kebangkitan Islam.
[al-Misyk@t]
Read More...
Liberalisme II; Liberalisme Kemal Attaturk
Jumat, 29 Oktober 2010
Penelitian Depag tentang Liberalisme
Peneliti Depag mengatakan, di Surabaya tokoh-tokoh keagamaan banyak mendukung pemikiran Islam Liberal.
Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-171
Oleh: Adian Husaini
Pada Senin (20 November 2006), saya mengisi acara ceramah dan diskusi tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Sore hari, acara dikhususkan untuk para ustad dan tokoh masyarakat Gresik dan sekitarnya. Saat itu, hadir lebih dari 200 orang. Malam harinya, acara dilakukan dalam bentuk pengajian umum di lapangan terbuka, yang dihadiri ribuan masyarakat dari daerah Gresik dan Lamongan. Bahkan, banyak jamaah dari jauh yang datang dengan kendaraan truk.
Saya terkejut menyaksikan besarnya minat masyarakat Gresik untuk mendengarkan pemaparan tentang Islam Liberal. Menurut pimpinan pesantren, hal itu disebabkan masalah paham liberal keagamaan – yang lebih populer dengan sebutan ‘Islam Liberal’ – sudah disebarkan sampai ke pelosok-pelosok kampung dan perguruan tinggi Islam. Pesantren pun terkena getahnya, karena ada alumninya yang terkena virus liberal ketika kuliah di perguruan tinggi tertentu.
Disamping itu, pesantren Maskumambang memang pesantren tua yang memiliki tradisi ilmu yang cukup baik dan memiliki ribuan alumni yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Pesantren ini dipimpin oleh seorang kyai cerdas dan kharismatis bernama KH Nadjih Ahjat (71 tahun), yang kini juga duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Disamping mengajar dan berceramah, Kyai Nadjih Ahjat juga seorang penulis buku yang handal dan penerjemah sejumlah kitab berbahasa Arab. Saya sudah mengenal nama Kyai Nadjih sejak duduk di bangku SMAN 2 Bojonegoro, sekitar tahun 1981. Salah satu bukunya yang berjudul ‘Iman Jalan Menuju Hidup Sukses’, merupakan salah satu buku bacaan favorit saya.
Buku ini memberikan dorongan semangat yang tinggi agar seorang muslim dapat meraih prestasi-prestasi besar dalam kehidupan dengan tetap berpegang dasar iman yang kuat.
Kepada ribuan masyarakat muslim itulah, saya membacakan hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang apa itu paham Islam Liberal, yang sebagian telah kita ungkapkan pada catatan yang lalu. Salah satu yang membuat mereka takjub adalah pendapat bahwa umat boleh menyembah Tuhan apa saja, dengan cara apa saja, dan juga pandangan bahwa Al-Quran bukan lagi dianggap wahyu yang suci, tetapi merupakan produk budaya.
Tentulah masyarakat Jawa Timur masih mengingat peristiwa yang menghebohkan yang terjadi di IAIN Surabaya bulan Mei lalu, ketika seorang dosennya menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri, dengan alasan bahwa tulisan itu tidak suci. Si dosen juga berpendapat, bahwa Al-Quran adalah produk budaya dan tulisannya tidak suci. Kepada masyarakat yang hadir saya menjelaskan, bahwa cara pikir liberal itu memang sudah diajarkan di sejumlah perguruan tinggi Islam.
Dan tentu saja, cara pikir seperti itu adalah sesuatu yang sangat keliru. Sesuatu tulisan, karena merupakan simbol dari Yang Maha Suci, maka tulisan itu menjadi suci.
Jangankan tulisan yang menjadi simbol nama Allah, tulisan yang menjadi simbol nama Presiden saja akan berbeda nilainya dengan tulisan yang menjadi simbol nama kecoa atau tikus. Cobalah kaum liberal yang menyatakan tulisan Allah dan Al-Quran tidak suci itu datang kepada Presiden SBY. Di depan Presiden, tulislah namanya pada secarik kertas, kemudian injaklah tulisan itu dengan kaki, dengan mata sedikit membelalak, sebagaimana dilakukan oleh dosen IAIN Surabaya ketika menginjak lafaz Allah. Normalnya, Presiden SBY pasti tersinggung dan marah dengan tindakan yang melecehkan namanya itu. Bagaimana dengan Allah, jika nama-Nya dengan sengaja diinjak oleh manusia? Bukankah sangat wajar jika Allah murka jika nama-Nya saja diinjak oleh makhluk-Nya?! Dalam soal keimanan dan peribadahan, Allah sudah mengutus Rasul-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw, untuk mengenalkan nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan bagaimana cara menyembah-Nya yang benar. Maka, sebagai kaum Muslim, kita tidak melakukan ibadah secara sembarangan, melainkan harus berdasarkan petunjuk dan contoh dari Rasulullah saw. Kita tidak shalat secara sembarangan. Kita takbir, membaca al-Fatihah, ruku’, I’tidal, sujud, salam, dan sebagainya, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh utusan Allah. Para ulama tidak mengarang tata cara ibadah dalam Islam. Mereka hanya merumuskan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Tetapi, anehnya, kaum liberal lalu berteriak, “Boleh menyembah tuhan apa saja, dan boleh menyembah Tuhan dengan cara apa saja. Semua benar. Tidak ada yang salah!.
Tentu saja pendapat kaum liberal yang masih mengaku Islam ini sangat ajaib dalam pandangan Islam. Tetapi, yang memprihatinkan kita, sejumlah peneliti Litbang Departemen Agama, malah memberikan dukungan kepada paham liberal, dan menyudutkan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti paham liberal tersebut. Kaum Muslim yang tidak liberal diberi cap-cap dan julukan-julukan yang melecehkan atau menyudutkan, seperti cap Muslim fundamentalis, muslim konservatif, muslim kerdil, dan sebagainya.
Misalnya, peneliti Depag yang meneliti paham keagamaan liberal di lingkungan UIN Jakarta, menulis:
“Gagasan-gagasan keislaman liberal tentunya sangat berbeda dengan pemahaman keislaman kaum fundamentalis sehingga menimbulkan forum permusuhan antara kalangan fundamentalis dengan liberal ketika duduk satu meja pada forum-forum diskusi yang melibatkan kedua pihak.”
Peneliti yang melakukan penelitian di lingkungan IAIN Surabaya juga menulis kesimpulan:
“Di Surabaya, akademisi dan tokoh-tokoh keagamaan secara substansial banyak mendukung pemikiran Islam Liberal, meskipun menolak istilah liberal pada dirinya. Istilah liberal, sebaiknya tidak usah digunakan dalam pergulatan wacana keagamaan, sehingga tidak ada klaim-klaim yang membingungkan. Konflik pemikiran antara kalangan Muslim “liberal” yang menurut saya adalah Islam “rasional” dengan kalangan muslim “kerdil” yang menurut saya adalah Islam “irrasional” mungkin harus dipahami sebagai konflik pemikiran biasa, karena dengan itu akan lahir dinamika keagamaan yang sehat, yang penting tidak ada konflik fisik.”
Peneliti faham liberal di lingkungan IAIN Sumatera Utara menulis dalam laporannya: “Faham yang seringkali bertentangan dengan faham liberal adalah doktrin konservatif yang secara sederhana menyatakan dukungannya terhadap pemeliharaan status quo.” Cara penamaan dikotomis ini memang bagian dari strategi untuk mengkampanyekan paham liberal dalam Islam. Sama dengan cara George W. Bush dalam memerangi terorisme dengan mengatakan: “either you are with us or with the terrorists”; ikut AS atau ikut teroris; menjadi liberal atau menjadi muslim kerdil, radikal, militan, dan sebagainya.
Penggunaan istilah dikotomis ini seringkali menjebak. Sampai ada peneliti Depag yang tampaknya tidak mendukung paham Islam Liberal pun ikut-ikutan membuat istilah dikotomis dalam laporan penelitiannya. Ia menulis dalam laporan penelitian di Makassar:
“Pemikiran keagamaan yang diungkapkan oleh mereka yang mengaku dirinya berpaham liberal banyak mendapat tanggapan negatif dari kelompok konservatif. Puncaknya dengan dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak paham liberal, agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di Indonesia yang problematis.”
Dari berbagai contoh tersebut kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman pola pikir dikotomis yang dikembangkan para ilmuwan Barat dalam memandang fenomena pemikiran keagamaan. Istilah-istilah yang berasal dari fenonema masyarakat Kristen di Barat kemudian dipaksakan masuk ke dalam khazanah keilmuan dalam studi keislaman. Sangatlah tidak mudah menjebol hegemoni penggunaan istilah-istilah Barat dalam pemikiran dan studi Islam yang sudah terlanjur mencengkeram otak para profesor, doktor, dan peneliti di kalangan akademisi Muslim dewasa ini.
Tentu saja kita tidak apriori dengan penggunaan istilah-istilah asing, dari mana pun datangnya, asalkan itu tidak bertentangan dan tidak merusak konsep-konsep dasar dalam Islam. Sebagaimana beberapa kali kita catat, penggunaan istilah-istilah ‘fundamentalis’, ‘radikal’, ‘militan’, dalam tradisi Kristen-Yahudi sangat tidak sesuai jika diaplikasikan untuk Islam. Sama halnya, kita juga tidak bisa secara sembarangan menggunakan istilah-istilah Islam untuk kaum Kristen-Yahudi.
Misalnya, dalam khazanah Islam, seorang Muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah dan beramal shalih, kita sebut termasuk dari Muslimin yang muttaqin dan shalihin. Maka, kita tidak patut menyebut George W. Bush – yang dikenal fanatik terhadap agama Kristen – sebagai seorang Nasrani yang termasuk orang-orang yang shalihin dan muttaqin. Andaikan George W. Bush mati dalam Perang di Iraq, tidak patut kita sebut ia telah ‘mati syahid’.
Karena itulah, setiap ilmuwan Muslim seyogyanya berhati-hati dalam mengambil istilah dari Yahudi, Kristen, Barat, atau dari mana saja. Seorang ilmuwan Muslim harusnya tidak latah dalam menjiplak istilah dari agama atau peradaban lain. Misalnya, karena banyak kaum Kristen dan Yahudi sudah menjadi sekular dan mendukung negara sekular, lalu dengan latah menyatakan, bahwa kaum Muslim juga harus menjadi sekular dan mendukung negara sekular, sebagaimana kaum Kristen dan Yahudi. Pikiran seperti ini terlalu sederhana dan tidak berpikir panjang, bahwa ada banyak perbedaan yang mendasar antara karakteristik agama Islam dengan ajaran Kristen/Yahudi.
Akibat pikiran sederhana itu, maka Islam harus dirombak habis-habisan, disekularkan, diliberalkan. Aqidah Islam harus dibongkar dengan paham Pluralisme Agama. Syariah Islam harus dibubarkan dan diganti dengan hukum-hukum sekular. Dengan konsep negara sekular, maka pemerintah tidak boleh membatasi agama yang diakui. Semua agama harus diperlakukan sama.
Padahal, AS dan negara-negara Barat lain pun juga tidak memperlakukan kaum Islam sama dengan Kristen! Sebagai Muslim, seharusnya kita menghindarkan kelatahan-kelatahan dalam mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen.
Sekularisasi dan liberalisasi sendiri telah merepotkan banyak kaum Kristen, dan kini dijejalkan kepada kaum Muslim, dengan dukungan dana besar-besaran dari negara-negara Barat. Dari hasil penelitian Depag itu kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman paham liberal itu di lingkungan perguruan tinggi dan institusi Islam. Institusi yang diharapkan menjaga dan mengembangkan Islam sudah terasuki paham-paham liberal yang jelas-jelas meruntuhkan bangunan aqidah dan syariah Islam.
Bahkan, dari hasil penelitian di lingkungan UIN Jakarta, diteliti tentang satu organisasi mahasiswa UIN Jakarta (Formaci) yang berpaham liberal yang pernah menolak kewajiban jilbab di UIN, mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah, dan mendukung perkawinan beda agama. Dengan berpegang kepada paham kebebasan berpikir dan atas dasar kemanusiaan, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama. Ditulis dalam laporan penelitian ini:
“Seseorang yang sudah pacaran 5 tahun kemudian mau menikah terhalang oleh perbedaan agama, memberi arti bahwa agama hanyalah sebagai penghalang bagi terlaksananya niat baik dua insan untuk membangun rumah tangga.”
Berbeda dengan organisasi-organisasi Islam lainnya, sistem kepengurusan dalam Formaci dipilih melalui rapat umum anggota yang disebut dengan ‘konsili’ –satu istilah yang biasa digunakan dalam tradisi Katolik dimana para uskup dan tokoh Gereja berkumpul untuk memutuskan masalah-masalah dan doktrin penting dalam Gereja Katolik. Entah mengapa dan dengan tujuan apa istilah itu diambil oleh Formaci, bukannya menggunakan istilah-istilah munas, mukernas, kongres, muktamar, dan sebagainya.
Demikianlah realitas tentang perkembangan liberalisme keagamaan sebagaimana hasil penelitian Litbang Departemen Agama. Penelitian ini telah membuka mata kita lebih jauh tentang fenomena liberalisasi Islam di Indonesia. Semoga umat Islam Indonesia dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini dan menyiapkan diri lebih baik lagi dalam bidang keilmuan untuk mencegah berkembangnya paham yang jelas-jelas merusak agama Islam ini.
Wallahu a’lam.
[Depok, 24 November 2006/www.hidayatullah.com]
Read More...
Pornografi & Liberalisasi
Wartawan senior Indonesia menuduh RUU APP ‘berbau Arab’. Nabi dan Imam Syafi’i juga orang Arab, tapi mengapa kita mau mengikutinya? Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 139
Oleh: Adian Husaini
Menyusul maraknya aksi penolakan terhadap RUU Anti-pornografi (APP), beberapa hari lalu, seorang muslim yang tinggal di Bali menelepon saya, dan memberitahukan kondisi kaum Muslim Bali yang semakin terjepit. Kadangkala, mereka mendapat tuduhan, bahwa RUU APP adalah salah satu bentuk Islamisasi.
Jika RUU itu nantinya disahkan, maka Bali pun akan diislamkan, dan wanitanya dipaksa memakai jilbab. Entah dari mana isu itu ditiupkan di Bali, sehingga sampai muncul ancaman, jika RUU APP diterapkan, maka Bali akan memerdekakan diri dari Indonesia.
Ancaman semacam ini dulu juga nyaring terdengar di kalangan kaum Kristen tertentu, ketika RUU Pendidikan Nasional akan disahkan. Mereka mengancam, Papua dan Maluku akan memisahkan diri, jika RUU Pendidikan Nasional disahkan. Tetapi, ketika RUU itu disahkan menjadi UU, gertakan mereka juga kurang terdengar lagi.
Kaum Muslim Bali dan banyak komponen masyarakat lainnya di sana, jelas sangat mengharapkan lahirnya satu Undang-undang yang bersikap tegas terhadap tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi yang semakin meruyak di belantara tanah air Indonesia. Pada tahun 1945, kaum Muslim juga ditekan untuk mengganti Piagam Jakarta, dengan alasan ancaman separatisme wilayah tertentu.
Pornografi adalah musuh umat manusia beradab, sehingga selama ini selalu ada upaya agar manusia yang masih bertelanjang, diberikan pekaian penutup tubuh mereka. Anehnya, sebagian argumentasi penolakan RUU APP justru berorientasi kepada primitivisme.
Ada yang berpendapat, jika RUU ini diterapkan maka suku-suku tertentu yang selama ini biasa hidup telanjang akan terkena ancaman pidana. Logika kaum liberal ini sebenarnya carut-marut dan paradoks.
Pada satu sisi mereka mengagungkan progresivitas (dari bahasa Latin : progredior, artinya, saya maju ke depan), tetapi pada sisi lain, mereka justru mundur ke belakang, dengan memuja nativitas dan primitivitas.
Sayangnya, suara-suara masyarakat yang sehat, seakan tersekat. Logika mereka tersumbat oleh gegap gempitanya gerakan penolakan RUU APP dimotori oleh LSM-LSM dan public figure tertentu yang berpaham liberal, yang meyakini ‘kebebasan’ sebagai ideology dan agama mereka. Kebebasan, menurut mereka, adalah keimanan, yang tidak boleh diganggu gugat. Karena itu mereka menolak berbagai pembatasan, baik dalam hal agama atau pakaian. Kata mereka, itu wilayah privat, wilayah pribadi yang tidak boleh dicampurtangani oleh negara. Maka mereka pun berteriak: biarkan kami berperilaku dan berpakaian semau kami, ini urusan kami! Bukan urusan kalian! Bukan urusan negara! Negara haram mengatur wilayah privat! Itulah logika dan keimanan kaum liberal, pemuja kebebasan.
Karena RUU APP dianggap melanggar wilayah privat, maka mereka berteriak lantang: tolak RUU APP! Ketika kasus Inul mencuat, seorang tokoh liberal menulis dalam sebuah buku berjudul “Mengebor Kemunafikan”: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.”
Logika kaum liberal yang mendikotomikan antara wilayah privat dan wilayah publik itu sebenarnya logika primitif, yang di negara-negara Barat sendiri sudah kedaluwarsa. Sejak lama manusia sudah paham, bahwa kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan publik.
Karena itulah, di negara-negara Barat yang memuja liberalisme, ada peraturan yang membatasi kebebasan manusia, yang memasuki dan mengatur wilayah privat, baik dalam soal tayangan TV, pakaian, minuman keras, dan sebagainya.
Ada kode etik dalam setiap jenis aktivitas manusia. Tidak bisa atas nama kebebasan, orang berbuat semaunya sendiri. Masalahnya, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, maka peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.
Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama.
Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.
Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini.
Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki.
Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:
"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS 45:23).
Dalam satu tayangan televisi, seorang pengacara terkenal pembela Anjasmara bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Anjasmara dengan foto bugilnya adalah satu bentuk seni, dan bukan pornografi. Padahal, foto Anjasmara yang dipamerkan untuk umum di Gedung Bank Indonesia itu jelas-jelas mempertontonkan seluruh auratnya, kecuali alat vitalnya.
Apakah si pengacara itu tidak berpikir, jika foto Anjasmara itu diganti oleh foto diri atau foto ayahnya. Apakah itu juga seni? Jika memang masih dianggap satu bentuk seni, mengapa alat vital Anjasmara masih ditutup dengan lingkaran putih? mbok, sekalian agar dianggap lebih indah dan ‘nyeni’ alat vital itu dibuka dan diberi lukisan tertentu?
Dalam tradisi Yunani, yang menjadi akar liberalisme seni di Barat, patung-patung para dewa pun ditampilkan telanjang bulat dengan alat vital terbuka. Kenapa si pengacara itu masih tanggung dalam memuja liberalisme? Apa landasan yang menyatakan alat vital tidak boleh dipertontonkan di muka umum ? Jika alasannya adalah ‘tidak etis’, maka suatu ketika dan di satu tempat tertentu, misalnya di klub-klub nudis, alat vital manusia pun wajib dipertontonkan, karena mengikuti kehendak dan selera umum.
Dalam Islam, nilai etika bersifat permanen dan tidak berubah. Batas aurat wanita dan laki-laki jelas. Mana dan kapan boleh diperlihatkan juga diatur dengan jelas oleh wahyu, baik melalui ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Rasulullah saw. Karena itu, kaum Muslim sebenarnya tidak perlu berdepat panjang tentang batasan aurat manusia, karena pedomannya sangat jelas.
Pornografi dan pornoaksi adalah aktivitas yang terkait erat dengan promosi perzinahan yang secara keras dilarang oleh Al-Quran. Karena itu, seorang dokter yang memeriksa bagian aurat tertentu dari pasien atau mayat manusia, dengan tujuan medis, tidak masuk dalam kategori pornografi atau pornoaksi. Ini tentu berbeda dengan Dewi Soekarno yang secara sengaja mempublikasikan foto-foto bugilnya dalam ‘Madame de Syuga’. Berbeda juga dengan tayangan-tayangan erotis dalam berbagai acara televisi kita sekarang ini.
Paham kebebasan atau liberalisme dalam berbagai bidang, memang sedang gencar-gencarnya dicekokkan kepada masyarakat Indonesia. Kaum Muslim Indonesia kini dapat melihat, bagaimana destruktif dan jahatnya paham ini.
Ketika Lia Eden ditangkap, kaum liberal berteriak memprotes. Ketika Ahmadiyah dinyatakan sebagai paham sesat oleh MUI, maka mereka pun berteriak membela Ahmadiyah. Ketika goyang ngebor Inul dikecam, mereka pun memaki-maki para ulama sebagai sok-moralis, sok penjaga moral dan sebagainya.
Ketika film Buruan Cium Gue (BCG) dikritik dan dikecam, mereka juga membela film itu atas nama kreativitas seni. Sekali lagi, menurut mereka, kebebasan harus dipertahankan. Sekarang, dalam kasus RUU APP, sikap dan posisi kaum liberal pun tampak jelas, di barisan mana mereka berdiri; di barisan al-haq atau al-bathil.
Kita sesungguhnya perlu mengasihani pada cara berpikir kaum liberal ini. Apalagi yang sudah tua dan 'sakit-sakitan', seperti Goenawan Mohammad. Bangga dengan julukannya sebagai budayawan, dia menulis satu artikel di Koran Tempo berjudul ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia’.
Dia menganggap bahwa RUU APP ini akan merupakan bentuk adopsi nilai-nilai dunia Arab, dan jika RUU ini disahkan, maka akan berdampak pada kekeringan kreativitas pada dunia seni dan budaya.
Nama Mohammad yang ditempelkan pada Goenawan itu saja sudah mengadopsi nilai-nilai Arab, karena kata Mohammad bukan berasal dari bahasa Jawa. Al-Quran dan hadits pun dalam bahasa Arab. Bahkan, Nabi Muhammad SAW juga orang Arab. Para sahabat Nabi pun orang Arab.
Imam Syafii juga orang Arab. Apakah karena mereka orang Arab, lalu kita tidak boleh mengikutinya? Kaum Muslim selama ini sudah mafhum, bahwa Islam memang agama yang diturunkan di Arab, tetapi jelas agama ini adalah untuk memberi rahmat kepada seluruh alam.
Ayat-ayat Al-Quran banyak menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk orang Arab. Karena itulah, orang tua Goenawan Mohammad pun bangga memberi anaknya nama ‘Mohammad’, yang jelas-jelas mengadopsi nilai Arab.
Jika konsisten memperjuangkan nilai lokal, nama Goenawan Mohammad harusnya diganti dengan ‘Goenawan Terpuji’. Bahkan, kata ‘Goenawan’ itu pun bukan asli Jawa, melainkan impor dari India.
Masalahnya, bukan Arab atau non-Arab. Tetapi, Islam atau bukan. Benar atau salah. Itulah yang seharusnya menjadi acuan berpikir bagi Goenawan. Setiap Muslim atau yang masih mengaku Muslim, seharusnya memiliki pandangan hidup (worldview) Islam. Tidaklah sepatutnya jika nilai kebenaran Islam diletakkan derajatnya di bawah unsur ‘kreativitas seni’.
Jika kreativitas seni dijadikan sebagai standar nilai, maka akan terjadi kekacauan hidup. Siapa yang menentukan kreativitas seni itu baik atau buruk? Apakah semua kreativitas seni adalah baik? Tentu saja tidak.
Kreativitas seni Madonna yang mempertontonkan ciuman lesbi di atas panggung dengan Britney Spears dan Christina Aguilera, dalam pandangan Islam, jelas sangat tidak baik, dan sangat tidak beradab, alias biadab.
Tetapi, ketika itu, pada 28 Agustus 2003, di panggung terbuka acara penganugerahan MTV Video Music Awards di Radio City Music Hall New York, para penonton malah melakukan standing applause. Para penonton menyambut adegan jorok itu dengan berdiri serentak dan bertepuk tangan cukup panjang.
Sutradara film Guy Ritchie, suami Madonna, malah ikut bertepuk tangan dengan wajah senang. Ia sama sekali tidak keberatan dengan tingkah polah istrinya. Bagi penonton, tindakan Madonna dianggap sebagai kreativitas seni. Entah bagaimana sikap pemuja liberalisme dan kreativitas seni seperti Goenawan Mohammad andaikan dia hadir dalam acara itu.
Kreativitas seni memang penting, tetapi kebenaran nilai-nilai Islam adalah lebih penting lagi. Sudah saatnya, kaum pemuja liberalisme seperti Goenawan Mohammad bertobat dan mengoreksi pikirannya, ngaji lagi yang baik dan benar, sehingga tidak bangga dan takabbur dalam kesesatan pikirannya. Ingatlah, kita semua pasti mati dan akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita kepada Allah SWT. Kekuasaan dan kepopuleran tidak akan bertahan lama. Masih ada waktu untuk bertobat.
Wallahu a’lam.
(Jakarta, 10 Maret 2006/hidadayatullah.com).
Read More...
Bahaya Wahabisasi
Alih-alih mengalihkan perhatian orang karena produk sekularismenya tak laku di pasaran, kalangan liberal mengeluarkan idiom dan stigma baru bernama 'bahaya wahabisasi'
Oleh: Ainul Yaqin *)
Wacana liberalisme Islam yang diperkenalkan ke lingkungan NU telah direspon sangat baik oleh sebagian besar generasi mudanya. Namun, di kalangan generasi tua NU liberalisme Islam telah dianggap sebagai penyimpangan yang harus diluruskan. Bahkan pada muktamar NU di Boyolali yang lalu, sempat muncul usulan agar kepengurusan NU bersama organisasi-organisasi di bawahnya dibebaskan dari pengaruh orang-orang yang berhaluan liberal.
Walaupun penolakan ini pada praktiknya tidak efektif untuk mencegah masuknya orang-orang liberal ke dalam kepengurusan NU dan organisasi dibawahnya -karena kaum tua belum membuat definisi yang belum jelas tentang liberalisme- tetapi hal ini telah cukup dirasakan sebagai ancaman bagi masa depan gerakan liberalisme di tubuh NU.
Menyadari kenyataan tersebut, tak pelak lagi para aktivis liberal merasa perlu membuat strategi baru yang lebih diterima. Gus Dur --yang selama ini menjadi bemper-- bagi masuknya arus liberalisasi di NU mengkritik pernah Ulil (dalam hal ini dianggal icon gerakan liberalisme di tubuh NU) sebagai orang yang telah terjebak dalam label yang dibuat sendiri (www.gusdur.net).
Gus Dur ini secara implisit memberikan catatan, bahwa untuk menawarkan ide liberalisme di lingkungan NU, harusnya tak perlu menggunakan cara gembor-gembor karena cara-cara seperti ini malah bisa jadi bumerang.
Stigma Wahabi
Entah karena kritik Gus Dur, atau karena tidak punya tempat di hati banyak umat Islam --khususnya di kalangan NU-- namun yang jelas, pasca penolakan banyak pihak terhadap ide-ide liberalisme itu kini, para pengusung paham liberal boleh dikatakan sedang "berganti haluan". Alih-alih bersembunyi atau mengalihkan perhatian, mereka kini melakukan teknik baru dengan cara melakukan stigmatisasi.
Akhir-akhir ini beberapa aktivis liberal menggulirkan isu wahabisasi. Isu wahabisasi ini untuk menunjuk kepada setiap upaya yang dilakukan oleh kelompok Islam apa saja yang mempunyai faham berseberangan dengan dirinya (pengusung liberalisme). Bahkan dalam kasus kontroversi RUU APP pun kelompok liberalisme tak segan-segan 'menuduh' yang pro terhadap RUU APP sebagai wahabian.
Adalah Abdul Moqsith Ghazali misalnya, di dalam tulisannya di www.wahidinstitute.org mengatakan ,bahwa gerakan untuk mewahabikan umat Islam di Indonesia sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi bahkan tidak hanya dilakukan di kota-kota besar, tetapi juga telah masuk ke desa-desa.
Menurut si penuduh, gerakan wahabisme sudah menjangkiti banyak pihak di Indonesia, termasuk NU. Moqsith juga menyebutkan banyak tokoh Wahabi Timur Tengah yang pikirannya mempunyai pengaruh kuat terhadap aktivis Islam di Indonesia, yang salah satunya adalah Abdul Qadir Zallum (harusnya yang benar Abdul Qadim Zallum pendiri Hizbut Tahrir di Yordania ).
Tuduhan lain juga datang dari M. Mas'ud Adnan, wakil ketua Balitbang PW NU Jatim (Jawa Pos; 28/03/06) yang menengarahi bahwa beberapa kiai-kiai di NU pun telah terpengaruh gerakan wahabi. Hal ini didasarkan atas indikasi adanya beberapa kiai NU yang mempunyai latar belakang studi di Saudi Arabia tetapi tidak melalui studi akademik sampai S2 atau S3 sehingga sedikit banyak terpengaruh pada faham Wahabi.
Selain menggulirkan isu wahabisasi, dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan upaya pembelokan makna terhadap idiom kembali ke khitthah 26.
Idiom ini pada dasarnya mempunyai makna mengembalikan NU pada arah perjuangan semula yaitu menjadi jam'iyah yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan dan keagaamaan serta melepaskan NU dari keterlibatannya dalam politik praktis.
Idiom ini dibelokkan pengertiannya menjadi mengembalikan NU pada dakwah kultural dimana istilah ini telah dipertentangkan dengan istilah dakwah struktural, dengan suatu pengertian bahwa dakwah struktural adalah upaya formalisasi agama (syari'at), maka sebaliknya dakwah kultural berarti menolak formalisasi.
Pembelokan serupa dilakukan pula terhadap konsep tawassuth, tasammuh, dan tawazzun. Ke tiga istilah tersebut sebenarnya merupakan istilah untuk mensifati teologi ahli sunnah atau Asyariyah yang dianut oleh NU yang merupakan konsep teologi tengah-tengan antara rasionalisme qodariyah dan antropomorfisme jabariyah.
Namun para aktivis liberal ini telah menggeser (bisa disebut juga memelintir) maknanya sebagai konsep yang menolak ekstrimitas atau dengan kata lain berpihak pada penolakan terhadap formalisasi agama, karena formalisasi agama adalah sikap yang ekstrim ke kanan.
Tafsiran seperti di atas antara lain terlihat dari tulisan Mas'ud Adnan mengomentari dukungan PB NU terhadap RUU APP (Jawa Pos: 28/03/06).
Menurutnya NU yang berwatak tawassuth, tasammuh, dan tawazzun lebih pas memilih solusi partikelir dari pada menjadi stempel kelompok Islam formalis. Serupa dengan itu Gus Dur juga secara tegas mengatakan bahwa KH Hasyim Asy'ari adalah orang yang tidak setuju dengan formalisasi agama.(Jawa Pos: 7/04/06 )
Pemecah Ukhuwah
Isu wahabisasi patut diduga sebagai akal-akalan kaum liberal yang dimaksudkan untuk menyekat warga NU dari kelompok-kelompok yang menolak ide liberal. Dengan isu ini harapannya warga NU menjadi curiga dan waspada terhadap kelompok-kelompok yang menolak ide liberal dan sebaliknya menjadi tidak kritis terhadap ide-ide kelompok liberal sendiri, sehingga dalam kesempatan ini tanpa disadari ide-ide liberalisme dapat diterima. Isu wahabisasi dipilih karena NU pernah mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap gerakan Wahabi. Bahkan latar belakang berdirinya NU yang merupakan kelanjutan dari Komite Hijaz adalah untuk menangkal terhadap arus wahabisasi.
Namun tuduhan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan aktivis liberal sebagai Wahabian terlalu digeneralisasi. Memang diakui bahwa kelompok Wahabi seperti Salafi merupakan kelompok yang berseberangan dengan kelompok liberal, tetapi tidak semua yang berseberangan liberalis adalah wahabi.
Syeikh Abdul Qodim Zallum misalnya, jelas bukan Wahabi. Abdul Qodim Zallum merupakan tokoh yang banyak mengkritisi Wahabi. Dalam bukunya Kaifa Hudimat al-Khilafah, Syeikh Zallum mengkritik keras peran gerakan Wahabi yang terlibat dalam konspirasi meruntuhkan kekhilafahan Usmaniah di Turki.
Dus, tidak pula bisa digeneralisasikan seolah-olah setiap mahasiswa NU yang nyantri di Saudi terpengaruh Wahabi. Banyak kiai NU yang kritis terhadap kelompok liberal mempunyai latar belakang studi di Saudi Arabia, tetapi mereka tidak belajar pada ulama Wahabi. Di antara mereka banyak yang belajar pada (alm) Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki.
Sebut misalnyal; Luthfi Basori misalnya, seorang kiyai muda NU yang kritis terhadap liberal adalah murid beliau. Demikian pula tokoh FPI, Abdurrahman Assegaf, anggota Dewan Imamah Nusantara (DIN) seperti Habib Thohir Al-Kaff dan K.H. Najih Maimun juga murid beliau.
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki adalah seorang ulama Saudi yang banyak berseberangan dengan orang-orang Wahabi. Bahkan beliau pernah divonis sebagai ulama sesat oleh tokoh-tokoh wahabi seperti Syeikh Abdullah bin Baz maupun Syeikh Sulaiman bin Mani' dan atas rekomendasi ulama wahabi pula dicekal tidak boleh mengajar di Masjid al-Haram oleh pemerintah Saudi.
Pencekalan itu akhirnya dicabut sebelum beliau wafat karena kepiawaiannya memenangkan perdebatan dengan tokoh-tokoh wahabi. Ada misi utama yang dibawa oleh para aktivis liberal dengan strateginya, yaitu mensosialisaikan faham sekularisme. Dalam berbagai kesempatan para aktivis liberal senantiasa menyampaikan misi ini. Penolakannya terhadap RUU APP pun dilakukan karena misi ini.
Kaum liberal memandang bahwa RUU APP terlampau jauh mengatur masalah moralitas yang dalam pandangannya yang sekuler, hal tersebut merupakan wilayah privat. Dikotomi privat dan publik inilah merupakan ciri dari faham sekularisme. Berbagai upaya yang dilakukan mulai dari pengguliran isu wahabisasi, pembelokan idiom-idiom NU dapat dibaca sebagai strategi sekularisasi khususnya yang dilakukan terhadap NU.
Patut disadari oleh para nahdliyin bahwa NU sejak kelahirannya tidak berfaham sekuler dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan, NU memandang formalisasi syari'at menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti maa laa yudraku kulluh la yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua) dan kaidah dar'ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih (mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam. Dalam kerangka ini NU pernah mengukuhkan pemerintah Soekarno sebagai waliyy al-amri al-dlorui bi al-syaukah.
Adanya pengukuhan ini merupakan kebutuhan syar'i yang terkait dengan masalah perwalian pernikahan khususnya wali hakim, di mana hanya sah apabila diangkat oleh pemerintah yang sah pula secara syari'at. Dalam kasus ini pemerintah Soekarno untuk sementara masih dapat ditolelir sebagai pemerintah yang sah secara syari'at. Namun, karena sifatnya yang belum kaffah maka dikatakan al-dloruri.
Penggunaan kata al-dloruri (sementara) yang disifatkan pada kata walyy al-amri menunjukkan adanya pengakuan bahwa proses perjuangan menuju formaliasai syari'at belum selesai. Maka upaya menuju ke arah yang lebih sempurna masih terus dilakukan. Hal ini dapat dicermati dari sepak terjang NU pada masa-masa berikutnya seperti perjuangan NU dipimpin KH Bisri Samsuri melalui fraksi PPP menggolkan UU Perkawinan serta menolak penetapan aliran kepercayaan sebagai agama.
Karenanya, kita patut wasapada dengan cara pengalihan perhatian dengan pelabelan wahabisasi yang dilakukan kalangan liberal. Di tengah hubungan NU dengan gerakan-gerakan Islam lain yang sudah makin baik selama sepuluh tahun terakhir ini, stigmatisai dan pelabelan istilah itu boleh jadi pemecah ukhuwah antara kaum nahdhiyyin dengan kelompok Islam lain.
*) Warga NU, Aktivis
Read More...
Aliran Liberalisme
Kamis, 28 Oktober 2010
Para pembaru mencoba mendobrak stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan. Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur'an dan al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur'an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis Islam.
For Islamic liberals, the language of the Qur'an is coordinate with the essence of revelation, but the content and the meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur'an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed by language.
Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemakan makna dalam dari konteks. Secara khusus kita akan mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis.
Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.
POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME
Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal.
Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur'an.
Kedua, kita harus mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian.
Ketiga, kita harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta'aqquli.
Keempat, kita harus melepaskan diri dari masalikul'illah gaya lama dan mengembangkan perumusan 'illat hukum yang baru.
Kelima, kita harus menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.
TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN
Rahman dalam Tema Pokok al-Qur'an memperinci metodologi penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. -Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks.
-Kedua, pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an;
-Ketiga, pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya dalam Tafsir Kontekstual al-Qur'an.
KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN
Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks lahir al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima teks-teks itu begitu saja (secara ta'abbudi). Kita harus menggunakan akal (ta'aqquli). Pandangan ini menimbulkan beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah dari teks, "Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai menutupi dada mereka" (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata "menutupkan kerudung" harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan nafsu.
Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.
Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan Bahtsul Masa’il yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.
Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.
KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN
Metodologi Rahman -seperti telah disebutkan di atas- bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."
Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu?
Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, para orientalis --lewat "analisis sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.
Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi --pada saut yang sama- "menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja", bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.
Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab wahid).
Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak-- adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh). Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw. meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada semangat al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan, Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.
Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru saja menyelenggarakan Bahtsul Masa’il yang menguras energi. Dengan kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.
Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang, Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.
KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN
Metodologi Rahman -seperti telah disebutkan di atas- bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."
Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu itu?
Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah sejarah. Karena itu, para orientalis --lewat "analisis sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.
Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi --pada saut yang sama- "menilai bahwa literatur asbab al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja", bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.
Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu, sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab wahid).
Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak-- adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh). Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw. meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks histories sangat diperlukan untuk memahami al-Qur'an. Setiap orang juga tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting.
Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai Al-Qur'an (“ideal moral" al-Qur'an) atau sebab berlakunya hukum (ratio legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi sosial dari tarikh yang dapat kita akses.
Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman --juga kebanyakan ulama-- pengharaman khamr ini berlangsung secara gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, "... ketika manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan."
Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah Rahman setuju, jika kita menyimpulkan --dari kesimpulannya-- bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas informal tidak haram.
Rahman menunjukkan evolusi "sikap" al-Qur'an terhadap khamr. Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69), tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91). Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman ditegaskan berkali-kali --dari tahrim 'am sampai tahrim khash bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras). Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang terakhir. Menurut Thabathaba'i, "Tidak turun ayat al-Ma'idah, kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia, karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini."
Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi'tsah dapat dilihat pada peristiwa masuk-Islamnya A'sya ibn Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw., di tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy lainnya. "Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina," kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka lagi. Dan seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani dari Mu'adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah minuman khamr.
Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah al-A'raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian --baik yang tampak maupun yang tersembunyi-- dan dosa (al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya kepadamu tentang khmr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada dosa besar (itsm kabir). Al-A'raf termasuk surah yang turun dalam periode Makkiyah awal.
Tentang surah al-Baqarah ayat 219 --yang dianggap Rahman dan kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr-- al-Jashash menjelaskan: "Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya mengharamkan kekejian... dan dosa. (QS. al-A'raf:33). Allah tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat duniawi bagi pelanggarnya." Walhasil, pengharaman khamr diulang-ulang --makin lama makin keras-- karena sahabat masih tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma'idah 90 diakhiri dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut riwayat, Umar menjawabnya, "Kami berhenti. Kami berhenti!"
Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang kurang diperhatikan Rahman).
(H.A)
Read More...
Liberalisasi Islam dan Agenda Global Barat
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini, sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal ketimbang perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri.
Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya "Islamic Liberalism": A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse (wacana rasional) yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal dan pemberlakuan sistem ekonomi global yang liberal. Binder menjelaskan: Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse?. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action (pemerintahan liberal adalah produk sebuah proses lanjutan dari wacana rasional. politik liberal dalam hal ini adalh sebuah keharusan. Yang mana akan (harus) berlaku di seluruh dunia, atau harus dipertahankan oleh tindakan yang tidak berkesinambungan) . (Leonard Binder, 1988) Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, penulis biografi Gus Dur dalam bukunya "Gagasan Islam Liberal di Indonesia". Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal, yaitu:
(a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad;
(b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama);
(c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama;
(d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian (sekulerasasi).
(Greg Barton, 1999)
Liberalisme dan Fundamentalisme
Sebagaimana watak pemikiran postmodernis (aliran filsafat yang mengkritik 'modern' dan modernisme dalam kehidupan sosial keagamaan) yang selalu mengkaitkan permikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal nampaknya tidak jauh dari trend itu. Maka dari itu dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda terpenting. Terbukti ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya apa yang menjadi concern utamanya adalah membendung kekuatan arus pemikiran yang dinamakan 'fundamentalis'. Cara-cara gerakan ini menghadang kelompok ini (fundamental) lebih cenderung frontal (serempak) dan konfrontatif daripada persuasive. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd dengan penafsiran hermeneutiknya, Hasan Hanafi dengan Kiri Islam-nya, Asghar Ali Engineer dengan penafsiran yang filosofis-nya, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim dengan dekontruksi syaria't-nya dan lain-lainnya, muncul dengan ide-ide yang secara mencurigakan menyerang pemikiran mainstream ummat Islam . Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok salafi yang mereka anggap fundamentalis lebih keras daripada kritik mereka terhadap Barat. Juga karena ide pluralisme agama kritik mereka terhadap Islam dan ummat Islam lebih keras daripada kritik
mereka terhadap agama lain. Gejala ini perlu dicermati dengan seksama.
Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity (berpengang teguh pada ajaran kristen) dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini ber-sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militan. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.
Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi populer setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Syi'ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudian fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan
sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993)
Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian. Dia menjelaskan:
"The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement. It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as anachronistic?Nothing could be farther from the truth. It appears that the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories of thought and histor"(Barat telah gagal untuk melihat kekuatan dan potensi Pergerakan Islam. Hal itulah yang menjadi pilihan barat untuk memberi sebutan fundamentalist, fanatik, anti- Barat, anachronistic (ketinggalan jaman). Tidaklah lebih jauh dari kebenaran [itu], hal Itu nampak bahwa Barat sekali lagi melakukan kekeliruan yang fatal menganggap (orang) yang lain dengan suatu paradigma berbeda, dari prisma tentang penyimpangan kategori pikiran dan sejarah) . (Khurshid Ahmad. /?The Nature of the Islamic Resurgence?/, ed. John L. Esposito,Voices of Resuregent Islam , 225).
Richard Nixon Bekas presiden Amerika menulis sebuah buku yang berjudul "Seize the Moment" . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim. Pertama, Orang yang membenci Barat. Kedua, orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara. Ketiga, orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam. Keempat, orang yang ingin membina kembali peradaban Islam. Kelima, orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam yang benar).
Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern atau konsis dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim 'fundamentalis', tapi kebangkitan Islam itu sendiri.
Sekularisasi dan Depolitisasi (Penelenjangan Politik) Islam
Di Barat, sekularisme, modernisme dan liberalisme berjalan seiring. Ketiga-tiga pemikiran ini adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Itu disebabkan, mereka telah menderita akibat pemerintahan tangan besi Gereja yang telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja yang kononnya berasal daripada Tuhan.
Untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi. Karen Armstrong, dalam bukunya, "Holy War": The Crusades and Their Impact on Today's Worl/, (1991:456) menyatakan: " Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century" (Kebanyakan dari [kita/kami] akan setuju bahwa salah satu yang paling jahat dari semua Institusi Kristen adalah Penyelidikan, Yang adalah suatu instrumen teror di (dalam) Gereja Agama Katholik sampai akhir abad ketujuhbelas"). Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.
Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan ( renaissance ) dan kemajuan.
Persoalannya adalah apakah konsep-konsep sekularisme, modernisme, liberalisme dari Barat itu dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit umat Islam? Jawabnya tentu negatif, sebab penyakit yang diderita Umat Islam amat berbeda dari penyakit yang diderita masyarakat Barat. Umat Islam tidak pernah mengalami pemerintahan tangan besi (tepatnya agama tidak pernah mengajarkan tentang gaya pemerintahan yang otoriter dan despotis), ulama pun tidak pernah memerintah dan tidak berambisi memerintah. Sebab, Islam tidak mengenal 'institusi gereja' yang mengaku mendapatkan mandat dari Tuhan untuk berkuasa.
Ternyata, konsep-konsep sekularisasi dan liberalisasi itu berdampak pada penelanjangan politik (depolitisasi) ummat Islam. Dan ini telah dilakukan sejak awal abad ke-20 yaitu bersamaan dengan jatuhnya Khilafah Uthmaniyyah (1924). Pada tahun tahun ini muncul beberapa tokoh kontroversi seperti Kamal Attaturk di Turki yang bertanggungjawab menghapuskan Khilafah Utmaniyyah dan menggantikannya dengan sistem negara sekular. Secara intelektual, muncul nama Ali Abd al-Raziq di Mesir, seorang qadi Shar'i yang mendapat Ijazah doktor di London denganbimbingan T.W. Arnold, seorang orientalis terkenal.
Ali Abd al-Raziq mungkin sarjana Muslim yang pertama yang mendukung penghapusan Khilafah. Menurutnya, Islam dan Rasulullah SAW sendiri memisahkan antara agama dengan politik. Karena itu, sistem Khilafah adalah ciptaan manusia: pemerintah dan kerajaan pada masa itu yang menjustifikasikan pemerintahan mereka dengan memperalat agama (Ali Abdul Raziq, tt. Al-Islam wa Usul al-Hukm ). Sebaliknya Islam hendaknya hanya dilihat dari sisi kerohaniannya saja ( spirituality ) yang tidak memerlukan kekuasaan dan percaturan politik. Buku Ali Abdul Raziq mendapat tentangan yang hebat daripada kebanyakan ulama pada masa itu, berpuluh-puluh buku telah ditulis untuk menjawab buku tersebut diantaranya buku-buku yang ditulis oleh: Muhammad Bakhit al-Muti'i, Muhammad Khadr Husayn, Diya al-Din al-Rayyis dan lain-lain. Setelah Ali Abd al-Raziq, muncullah kemudian orang-orang yang lebih berani lagi mempersoalkan masalah-masalah pokok dalam Islam dengan kritikan terhadap ajaran Islam, institusi Ulama, dan Rasulullah SAW. Golongan ini di Mesir lebih dikenali dengan golongan Al-Almaniyyun (sekularis).
Ketika terjadi perdebatan tentang penegakan hukum Islam di negara-negara Islam kelompok Islam liberal adalah golongan yang paling lantang menentangnya. Faraj Fawdah, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa melaksanakan Syari'at Islam adalah bermakna menegakkan negara theokrasi, negara yang diperintah oleh golongan agama ( rijal al-Din ) yang memerintah atas nama Tuhan, seperti halnya orang-orang Utan Kayu di Indonesia (JIL). Wahid Ra'fat menambahkan, orang-orang yang ingin menegakkan Syari'at sebenarnya ingin menjadi golongan kahanah( Clergy) atau hawariyyah dalam tradsisi kastil Yahudi, institusi yang mewakili Tuhan dan berkuasa penuh menentukan kehidupan manusia, sebab mereka saja yang akan mempunyai hak untuk menafsirkan Syari'ah. Muhammad Sa'id al-'Ashmawi (penulis Nalar Kritis Syari'at) menolak campurtangan Islam dalam politik, ini karena Al-Qur'an tidak pernah membincangkan pemerintahan atau menjelaskan bentuknya. Ashmawi juga mengatakan bahwa orang Islam yang menyeru penegakan hukum Islam sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan hukum Islam. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Mawdudi adalah pentafsiran beliau sendiri terhadap agama dan Syari'at, dan bukannnya Islam ataupun Syari'at Islam. Sebab, menurut Engineer, tidak ada definisi yang disepakati apa yang dimaksudkan dengan Syari'ah. Asghar berkesimpulan bahwa negara yang dimimpikan oleh Mawdudi adalah negara theokrasi dan authoritarian, dimana golongan agama akan memerintah dengan tangan besi. Sungguh mengerankan pentakwilan seperti yang diungkap Engineer tersebut terhadap Al-Maududi.
Tudingan-tudingan kaum liberal seperti itu bisa dipahami dalam prespektif, bahwa mereka memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, Islam, aqidah dan syari'ahnya dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan syari'ah Islam tegak di muka bumi, maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan dominasi ekonomi Barat, otomatis akan goncang. Karena itulah, Barat mau membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan membiayai sarjana-sarjana Muslim menimba ilmu di sana. Barat juga bersemangat membiayai kelompok-kelompok liberal Islam, di mana pun berada, termasuk Jaringan Islam Liberal (JIL) melalui Asian Fondation. Untuk apa? Jelas niat utamanya adalah untuk mengokohkan hegemoni mereka terhadap negara-negara berkembang khusunya yang mayoritas penduduknya adalah Islam. Namun, itu adalah urusan Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana kaum Muslim memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu. Biasanya, mereka pintar membuat jargon-jargon dan istilah-istilah yang indah, yang seolah-olah untuk memajukan Islam. Padahal, justru menikam dari dalam dan meruntuhkan bangunan Islam itu sendiri. Namun, kita tidak perlu apriori (cuek) dengan Barat, tetapi harus lebih cerdik dan lebih pintar dari Barat. Berbagai kemajuan yang dicapai Barat perlu dipelajari dengan sikap kritis, tanpa perlu membebek terhadap ideologi dan cara berpikir yang materialistik, sekularistik, liberalistik, dan hedonistik, seperti yang dialami tokoh-tokoh muda liberal kita yang membebek, duduk manis di hadapan Barat. [Al-Misyk@t]
Read More...
Kenaikan BBM Cuma Alasan untuk Ciptakan Liberalisasi Sektor Migas
wawancara Revrisond Baswir
Kenaikan harga BBM sebenarnya merupakan satu bagian kecil dari upaya liberalisasi sektor migas di negeri ini. Nantinya, Pertamina, perusahaan miyak yang selama ini menjadi pengelola tunggal itu akan bersaing dengan lebih dari 40 perusahaan migas asing yang sudah mengantongi izin untuk membuka 20.000 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di seluruh Indonesia, dengan harga standar internasional.
Topic ini membicarakan tentang liberalisasi ekonomi yang diusung oleh kapitalisme global yang semakin menggila. Wawancara ini kami kutip dari majalah ciber Swara Muslim.com.
Berikut ini perbincangan dengan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Drs. Revrisond Baswir, M.B.A, yang ditemui dalam Seminar Peringatan Hari Lahir Pancasila, di Gedung DPR, Jakarta. Berikut petikannya:
Kenaikan BBM ini kedepannya akan berdampak seperti apa?
Untuk mengetahui dampak kenaikan harga BBM, kita harus tahu persis latar belakang dan motivasi. Kalau menurut pemerintah, latar belakangnya apakah untuk mengoreksi yang tidak tepat sasaran, untuk menghemat konsumsi BBM, termasuk untuk menghindari penyelundupan dan sebagainya. Saya kira itu alasan yang dicari-cari, bukan penjelasan namun justru mengaburkan dari motif sebenarnya. Alasan yang sebenarnya adalah sejak pemerintah menandatanganani LOI 1998 di mana kita tunduk pada IMF untuk melepas harga BBM ke harga internasional. Ini sebenarnya bukan soal kenaikan, tapi soal proses bertahap melepas harga BBM ke harga pasar sesuai garis IMF, dan itu sudah difollow up oleh pemerintah yang sejak 1999 sudah membuat draft UU Migas yang baru, tapi pada waktu itu bentrok dengan Pertamina.
Lalu pada tahun 2000, Amerika masuk lewat USAID menyediakan utang untuk memulai proses liberalisasi sektor migas itu. Salah satu yang dikerjakan USAID dalam rangka liberalisasi itu adalah menyiapkan draft UU yang baru, bekerjasama dengan IDB dan World Bank menyiapkan reformasi sektor energi secara keseluruhan. Dalam UU Migas jelas, pasal 28 ayat 2 UU migas mengatakan harga BBM dilepas ke mekanisme pasar, sudah jelas itu.
Yang jadi masalah kemudian, segera setelah UU Migas keluar, pemerintah segera membuka izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk masuk ke berbagai tahap dalam proses migas di tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir. Dan bahkan mereka mengendalikan izin untuk perusahaan asing untuk membuka SPBU, sampai lebih dari 40 perusahaan yang sudah pegang izin untuk membuka SPBU itu. Masing-masing perusahaan diberi kesempatan membuka sekitar 20.000 SPBU di seluruh Indonesia.
Target mereka sebenarnya pada 2005 harga BBM sudah bisa dilepas ke pasar, hanya saja di tengah jalan UU migas dibawa ke Mahmakah Konstitusi (MK) oleh serikat pekerja pertamina, disidangkan di MK. Dan pasal 28 tentang pelepasan harga ke pasar itu dibatalkan MK, karena bertentangan dengan konstitusi. Itu sebenarnya yang menggganjal.
Masalahnya mereka kan tidak mau menyerah, setelah dinyatakan UU itu bertentangan dengan konstitusi, mereka jalan terus dengan istilah baru, dari istilah harga pasar menjadi “harga keekonomian”, itu hanya untuk berkelit saja. Karena harga pasar dilarang MK, maka ganti yang lain, tetapi maksudnya sama.
Isu yang tepat dalam kasus ini adalah liberalisasi sektor migas dan pelepasan harga BBM ke harga pasar. Jadi kalau kita lihat, setelah rencana itu gagal tahun 2005, dan muncul istilah harga keekonomian. Maka kini target pemerintah sesuai dengan apa yang diakatakan oleh Pak Budiono (Menko Perekonomian, dulu), setelah naik pada 24 Mei kemarin, diperkirakan pada September 2008 akan naik lagi secara bertahap, sampai ditargetkan selambat-lambatnya 2009 sudah sesuai dengan harga pasar minyak dunia. Sama dengan patokan di New York, kalau dieceran mencapai Rp 12.000 per liter.
Keuntungan apa yang akan diambil dari kebijakan melepas harga BBM ke pasar?
Bukan itu isunya. Isunya hanya dengan melepas harga BBM ke pasar, hanya dengan cara itu SPBU-SPBU asing itu mau beroperasi di sini. Kalau harga bersubsidi bagaimana SPBU asing bisa beroperasi dan bersaing dengan Pertamina, ini masalahnya. Masalahnya soal menangkap peluang investasi. Ada perusahaan asing ingin membuka SPBU asing, berarti SPBU asing ini mau melakukan investasi, tetapi SPBU asing hanya bisa jualan BBM, kalau BBM-nya sesuai dengan harga pasar. Jadi masalah ini saja, soal pasar. Pengakhiran monopoli Pertamina, pembukaan peluang bagi asing untuk berbisnis eceran BBM, dan seterusnya.
Seperti sekarang ini Petronas dan Shell sudah membuka SPBU-nya?
Makanya akibat kenaikan BBM tahun 2005, Shell buka, Petronas juga buka. Tapi apakah masuk akal kalau orang membuka SPBU itu hanya Jabotabek saja, gak mungkinkan, izin yang mereka peroleh, mereka boleh buka 20.000 SPBU di seluruh Indonesia, nah ada 40 perusahaan lebih yang punya izin. Bisa dibayangkan, berapa banyak SPBU yang akan berdiri, dan bukan hanya Jabodetabek, tapi juga seluruh Indonesia.
Pertamina sendirisudah memperkirakan hanya akan mampu menjual maksimal 50 persen saja, 50 persennya akan diambil oleh SPBU-SPBU asing itu. Nah kalau 2009 dilepas ke pasar, rencana terakhir pemerintah adalah bahwa sektor swasta bisa masuk ke bisnis eceran migas dilakukan secara penuh baru pada tahun 2010. Jadi bukan masalah BBM naik, kemiskinan, BLT, bukan isu itu, tapi mereka menganggap ini hanya dampak saja. Lalu kemudian bagaimana dampak itu diperlunak. Tetap saja mereka akan jalan terus dengan agendanya, bagaimana membuat sektor migas hingga terpenuhi sesuai harga pasar.
Saya kira isu lifting tidak relevan, karena ini isunya bukan naiknya berapa persen, bukan itu. Isunya adalah soal melepas harga itu, jadi pemerintah ingin lepas tangan dari urusan harga BBM. Dia gak mau mengatur mau naik, mau gak naik, dia mau lepaskan, jadi isu lifting menjadi tidak penting. Apalagi kalau SPBU beroperasi di sini, gak penting lagi, sumber migasnya darimana, mau impor 100 persen, ya boleh. Itu dia, justru itu malah mengaburkan masalah dari pokok masalah kita.
Masalah ini sekarang sudah mulai masuk ke ranah politik, ada wacana mengimpeach Presiden. Bagaimana ini?
Soal pemakzulan Presiden, kalau kita bicara UU migas, kemudian UU Kelistrikan, kemudian UU APBN, yang terkait dengan subsidi dan lain-lain itu kan atas persetujuan DPR, jadi proses liberalisasi ini juga berlangsung atas persetujuan DPR. Kalau akan dimakzulkan bukan saja Presiden, tapi juga DPR-nya juga dimakzulkan.
Dan itu terbukti di MK, jadi yang melanggar konstitusi bukan hanya pemerintah, tapi juga DPR. Inilah yang menjadi problem sekarang, jadi secara politik masalah ini sangat kompleks, karena belum ada aturan, bagaimana apabila pelanggaran konstitusi dilakukan Presiden dan DPR. Nah ini tidak ada UU-nya, saya sudah menanyakan hal ini kepada hakim agung, celakanya pelanggaran konstitusi ini tidak hanya sekali. UU Listrik batal demi hukum, karena melanggar konstitusi, UU Migas pasal mengenai harga pasar batal karena melanggar konstitusi, UU Penanaman Modal pasal mengenai Hak Guna Usaha karena melanggar konstitusi, UU APBN tiga tahun berturut-turut melanggar konstitusi, ini masalah kita.
Akar permasalah dari kebijakan melepas BBM ke harga pasar?
Masalahnya adalah apa yang disebut dengan Neokolonialisme dan Neoliberalisme.
Solusinya bagaimana?
Solusinya, kita harus memperteguh kembali komitmen sebagai bangsa terhadap cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi, ini harus ditegakan kembali. Setelah ini baru mengoreksi semua penyimpangan-penyimpangan, apakah itu kebijakan, peraturan pemerintah, UU, semua itu harus ditertibkan kembali. Karena menurut perkiraan Ketua Mahmakah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, 27 persen UU melanggar konstitusi, harus dibereskan dulu. Dari situ baru kita lihat dampak turunannya apakah kepada kontrak bagi hasil, harga BBM, harga listrik, dan lain-lain. (/eramuslim)
Read More...
Hakekat Islam Liberal
Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa.
Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam. Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001.
Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com.
Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo dan Gatra, JIL mendapat porsi publikasi besar di koran Jawa Pos dan 40 koran daerah yang tergabung dalam Jawa Pos-Net. Dengan nama rubrik Kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu halaman penuh untuk diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara lain Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Mas’udi.
Kampanye melalui media elektronik mula-mula cuma disuarakan melalui kantor berita radio 68H yang mengudarakan dialog interaktif setiap Kamis sore. Belakangan siaran itu kemudian di-relay oleh tak kurang 15 stasiun radio se-Indonesia yang tergabung dalam jaringan 68H, sehingga dapat disimak oleh para pendengar dari Aceh hingga Manado. Di Jakarta siaran JIL di-relay oleh stasiun radio dangdut Muara FM.
Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat insipirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Chares Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Anti Islam Kaffah
Mengapa JIL begitu gencar menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini, sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide ‘pembaruan Islam’, berupa Islam rasional, dekonstruksi syariah dan sekulerisasi.
Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat. Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis.
Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam ‘konservatif’ yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat.
Karena itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis. Dengan kata lain, Islam liberal adalah tandingan Islam revivalis. Apa beda Islam liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. “Ia menghargai rasionalitas,” kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak diperdebatkan.
Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syariat Islam oleh negara dan menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syariat Islam oleh negara. “Pemikiran revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar,” kata Ulil menyebut lawan tandingnya.
Untuk menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah (total) dan menolak penegakan syariat Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang, penerbitan Al-Quran edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta pluralisme. “Menurut saya, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi. Agama yang ‘kaffah ’ hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami ‘sofistikasi’ kehidupan seperti zaman modern. Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah,” ungkap Ulil dalam rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos. Tapi tentu saja kalangan yang disebut revivalis juga tak akan tinggal diam.
Mereka juga telah menyusun agendanya sendiri, meski mungkin tanpa gembar-gembor kampanye seperti yang dilakukan kalangan JIL. Yang penting bekerja saja. Tinggal dilihat nanti siapa yang lebih ditolong Allah: mereka yang berjuang menegakkan syariat Allah atau mereka yang alergi kepada syariat-Nya.• shw
Dari syariahonline.com :
Nampaknya kelompok sekuler mulai mendapat angin baru seiring dengan gencarnya gerakan mereka dengan isu baru : Islam Liberal. Apakah Islam liberal itu? Apa yang ditawarkannya? Apa kehebatannya? Bila kurang teliti dengan apa yang disenandungkan maka sangat bisa jadi banyak yang terkecoh.
Misalnya, isu tentang iklan Islam warna-warni yang beberapa waktu ramai. Tanggal 4 Agustus yang lalu, iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Komunitas Islam Utan Kayu diprotes oleh Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Gara-gara protes itu, TV yang menayangkan iklan tersebut, langsung menghentikan tayangannya.
Oleh para pendukung Islam warna-warni, tentu saja penghentian tayangan iklan yang memakan biaya besar sebagai upaya mereka melancarkan misi itu tidak bisa diterima. Coba dengar apa kata mereka tentang penghentian tayangan iklan itu,” Pesan yang hendak disampaikannya sangatlah sederhana: bahwa ada banyak golongan dan kelompok dalam Islam; golongan itu, akhir-akhir ini,
kian bertambah-tambah setelah situasi politik menjadi terbuka”.
Masih menurut mereka,” Sikap yang tepat untuk dikembangkan dalam keadaan yang sedemikian itu adalah sikap pluralistis, artinya sikap saling mentolerir dan menghargai golongan-golongan yang ada. Sikap yang menganggap golongan sendiri paling benar, sikap absolutistik, sikap yang menempatkan kelompok sendiri sebagai “wakil kebenaran Tuhan” di muka bumi, adalah sikap-sikap yang sebaiknya dijauhi. Karena sikap-sikap semacam itu akan menimbulkan pertengkaran yang tak ada gunanya”.
Sekilas bila kita dengarkan, nampak seperti perkataan ulama yang penuh dengan hikmah, tapi bila dicermati lebih jauh, pesan sesungguhnya berbunyi : “Karena Islam itu plural dan warna-warni, maka tidak boleh mengoreksi dan berdakwah serta menyeru kepada kebenaran bila ada penyimpangan dalam pelaksanaanya”.
Jadi, kalau ada orang Islam tidak shalat, tidak perlu ditegur, karena Islam menurutnya shalat itu tidak wajib. Dan karena Islam itu plural, kita wajib menghargai pandangannya. Begitu juga kalau ada wanita tidak pakai jilbab, jangan diperintahkan pakai jilbab, karena menurut Islamnya wanita itu, jilbab tidak wajib. Dan lagi-lagi kita wajib menghargai pandangannya. Dan egitu seterusnya sehingga tidak ada lagi dari syariat Islam yang tersisa.
Jadi ini sebenarnya cuma akal-akalan gaya syetan menipu manusia berkedok warna warni dan pluralitas Islam. Dengan bersembunyi dengan kata-kata ‘bijak’ itu mereka sesungguhnya ingin mencopot satu per satu ajaran Islam. Alasannya kita harus menghargai pluralitas. Dalilnya, menurut mereka, bahwa para ulama pun juga berbeda pendapat dan sering berikhtilaf. Nah di sini ketahuan akal busuk pendukung Islam plural itu. Mereka sampai tega membawa-bawa ulama untuk dijadikan tameng mereka.
Padahal bila kita cermati, tolong sebut satu saja dari nama ulama yang sering mereka sebut itu yang mengingkari kewajiban shalat, atau mengingkari kewajiban menutup aurat, atau mengingkari kafirnya Nasrani dan Yahudi, atau mengatakan bahwa iblis itu lebih tinggi iman dan taqwanya.
Tentu saja tidak ada satu pun dari para ulama itu yang berani melakukannya. Jadi para pendukung Islam plural itu terbiasa melakukan tadlis / penipuan dengan menggunakan bermacam dalih bukan dalil. Dengan cara itu, mereka berpikir bisa mengecoh umat dan membahagiakan ‘majikan’ mereka. Persis dengan salah satu motto yang sering didengungkan yaitu ,”menuju islam yang ramah, toleran dan membebaskan”. Kalimat ini tentu saja sangat menyejukkan para Yahudi di Israel dan Amerika, karena menurut Islam Liberal, jihad itu bukan perang, tapi adalah usaha sungguh-sungguh, titik. Intinya, para majikan itu ingin menjinakkan umat Islam melalui tangan para liberalis ini.
Jadi sesungguhnya semua yang mereka tawarkan itu sudah lengkap dan komplit, kecuali satu saja yang kurang : Kebenaran itu sendiri. Para tokoh Islam liberal mengistilah keislaman mereka dengan Islam warna-warni. Istilah ini adalah satu dari sekian juta istilah yang selalu diperkenalkan kepada orang-orang awam. Tapi pelakunya sebenarnya Cuma satu yaitu para orientalis sekular yang anti Islam, namun payung dan wajahnya mirip bunglon. Dengan begitu mangsa yang tidak hati-hati mudah terperangkap.
Sebenarnya usaha-usaha menjauhkan pemahaman Islam dari umatnya adalah proyek international dengan dana hampir tak terbatas. Triknya juga mudah dibaca, yaitu memanfaatkan kealpaan umat Islam, apalagi ditambah seribu acessoris mulai dari gelar, organisasi, serentetan acara di hotel berbintang, hingga kerja sama dengan beragam organisasi luar negeri. Semua bentuk kecaman mereka kepada Islam dan syariat bahkan kepada ulama tidak berdasar. Jadi bila secara serius kita kejar,
semua itu cuma tipuan murahan gaya kaki lima pinggir jalan. Tak ada satu pun pendapat mereka itu yang didukung fakta dan kebenaran ilmiyah. Tidak disini dan tidak juga di barat sana.
Tapi sekali lagi, Islam warna warni, Islam Liberal atau Islam apapun juga namanya, tujuannya cuma satu dan dengan mudah bisa dideteksi, yaitu dari nada-nada yang terdengar fals dan merusak gendang telinga orang normal. Lagunya cuma itu-itu saja, paling-paling mereka bilang,”kita tidak perlu erislam terlalu fanatik, semua agama sama, tidak perlu formalitas agama, agama cuma masalah individu, semua agama baik, tidak perlu penerapan syariat, semua pemeluk agama masuk surga, yahudi dan nasrani itu baik, iblis itu paling tinggi taqwanya, wanita sama derajatnya dengan laki-laki dan perlu dibebaskan dari kungkungan syariat dst dst. . . .”
Nyanyian seperti ini buat orang-orang sakit telinga barangkali terdengar merdu, tapi tidak buat mereka yang mengerti musik dan mengerti irama, tidak ubahnya lenguhan sapi perah. Sama sekali jauh dari merdu. Adalah tugas kita untuk menjelaskan kepada khalayak bahwa nyanyian itu sama sekali tidak enak didengar dan tidak menyejukkan hati. Itu adalah nyanyian iblis yang dikemas dengan literatur bejat karya yahudi barat. Keberadaan mereka di tengah umat Islam juga selalu dipertanyakan.
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, padahal Allah selalu menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir membenci. (Hamba Allah).
Read More...